Sabtu, 09 Juni 2012

Obat-obat pada Syaraf Otonom : Syaraf Adrenergik

,

      Pada posting bagian anatomi dan fisiologi sistem syaraf otonom telah disinggung bahwa sistem syaraf otonom dibagi menjadi 2 yaitu 1) sistem syaraf simpatik dan 2) sistem syaraf parasimpatik. Pada syaraf simpatik mempunyai sel syaraf preganglion lebih pendek daripada sel syaraf postganglionnya. Selain itu pada sistem syaraf simpatik ini neurotransmitter yang dilepaskan adalah nor-epinefrin atau nor-adrenalin yang akan bereaksi dengan reseptor adrenergik, maka sistem syaraf sipatik ini disebut juga dengan sistem syaraf adrenergik. Pada sistem syaraf parasimpatik memiliki sel syaraf preganglion lebih panjang daripada sel syaraf postganglionnya. Pada sistem syaraf ini neurotransmitter yang dilepaskan oleh ujung sel syaraf adalah asetilkolin yang akan bereaksi dengan reseptor asetilkolin muskarinik ataupun pada reseptor asetilkolin nikotinik. Reseptor nikotinik terdapat pada semua ganglia syaraf otonom (celah antara sel syaraf preganglion dan postganglion), pada neuromuscular junction (celah antara sel syaraf somatik dan sel otot skeletal), dan pada sel kromafin medula adrenal. Sedangkan reseptor muskarinik terdapat pada sel organ efektor syaraf kolinergik, misalnya sel parietal lambung, jantung, saluran pencernaan, dll.
     Penggolongan obat-obatan syaraf otonom ini dibedakan berdasarkan berdasarkan apakah suatu obat tersebut “memacu” atau bahkan “menghambat” syaraf tersebut. Obat yang memacu disebut dengan “Agonis”, sedangkan yang menghambat dinamakan “Antagonis”. Istilah-istilah ini dapat diulas lebih pada pembahasan obat-obatan nanti. ???
    Berdasarkan hal diatas tadi maka obat-obatan sistem syaraf otonom dibedakan menjadi beberapa bagian berikut:
1. Agonis Kolinergik,
2. Antagonis Kolinergik,
3. Agonis Adrenergik, dan
4. Antagonis Adrenergik
        Pada tulisan kali ini hanya akan tertulis tentang obat-obat yang bekerja pada reseptor adrenergik saja, karena pada artikel sebelumnya telah dibahas tentang obat-obat pada reseptor kolinergik. Disini obat-obat yang bekerja pada reseptor adrenergik  ada 2 golongan besar yaitu obat yang bekerja secara agonis adrenergik, dan secara antagonis adrenergik.


Agonis Adrenergik

       Agonis adrenergik merupakan obat yang memacu atau meningkatkan syaraf adrenergik. Oleh karena itu obat-obat yang bekerja secara agonis adrenergik ini beraksi menyerupai neurotransmitternya, yaitu nor-adrenalin. Agonis adrenergik juga dinamakan dengan Adrenomimetik. Obat-obat yang bekerja dengan cara ini bereaksi dengan reseptor adrenergik, yaitu reseptor adrenergik α & reseptor adrenergik β. Reseptor α sendiri terdapat 2 tipe, dan reseptor β juga terdapat 2 tipe yang digunakan obat-obat golongan ini untuk berinteraksi. Efek aktivasi dari kedua jenis reseptor ini dapat dilihat pada bagian berikut :

1) Reseptor α1 berada pada otot polos pembuluh darah. Jadi efek yang dihasilkan bila suatu agonis berinteraksi dengan reseptor ini adalah kontraksi otot pembuluh darah.
2) Reseptor α2 terdapat pada sel syaraf bagian postganglion simpatik. Aktivasi oleh agonis mengakibatkan penghambatan pelepasan neurotransmitter nor-adrenalin pada ujung syaraf simpatik.
3) Reseptor β1 terdapat pada otot jantung. Aktivasi oleh suatu agonis menyebabkan peningkatan frekuensi dan denyut jantung.
4) Reseptor β2 terdapat pada otot polos uterus dan bagian pernafasan. Aktivasi oleh agonis menyebabkan relaksasi otot polos uterus ataupun relaksasi bronkus pada pernafasan.

      Obat-obat yang bekerja berdasarkan agonis adrenergik ini dibedakan menjadi 2 yaitu agonis secara langsung dan agonis yang bekerja secara langsung. Hal ini dibedakan hanya pada interaksi dengan reseptornya.

1) Agonis Adrenergik Langsung
      Agonis Adrenergik langsung berarti obat-obat ini berinteraksi secara langsung dengan reseptor adrenergik dan kemudian menghasilkan efek dengan cara memacu efek nor-epinefrin itu sendiri. Telah diketahui sebelumnya bahwa reseptor adrenergik terdapat pada 2 tipe (α & β), maka obatnya pun dapat dibedakan pada kedua jenis reseptor ini.
- Reseptor α1 : obat-obat sebagai agonis α1 contohnya yaitu Oksimetazolin & Fenilefrin. Kedua obat ini berinteraksi dengan reseptor α1 yang menyebabkan kontraksi pembuluh darah.
- Reseptor α2 : Obat sebagai agonis α2 contohnya yaitu Klonidin. Obat ini berinteraksi dengan reseptor α2 dan mengakibatkan penghambatan pelepasan nor-epinefrin oleh ujung syaraf simpatik yang  kemudian menyebabkan penurunan tekanan darah.
- Reseptor β1 : Reseptor ini kebanyakan berada pada jantung. Obat sebagai agonis β1 contohnya adalah Dobutamin. Obat ini setelah berinteraksi dengan reseptornya akan menghasilkan efek yaitu meningkatkan frekuensi dan denyut jantung.
- Reseptor β2 : Reseptor ini terdapat pada otot polos uterus dan pada bagian pernafasan. Obat sebagai agonis β2 contohnya adalah Terbutalin. Obat ini dapat merelaksasi otot polos bronkus sehingga dapat digunakan unutk terapi asma.

2) Agonis Adrenergik tidak langsung
      Obat golongan ini bekerja dengan meningkatkan kadar nor-epinefrin pada celah sinaptik. Peningkatan kadar nor-epinefrin ini dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu : 1) Dengan melepaskan cadangan nor-epinefrin pada vesikel 2)Dengan menghambat re-uptake nor epinefrin menuju ke ujung syaraf. Oleh karena itu obat-obat yang bekerja secara tidak langsung ini dibedakan 2 macam berdasarkan kedua cara tadi
- Pada cara pertama, obat-obat akan memacu ujung syaraf untuk melepaskan cadangan nor-epinefrin, hasilnya yaitu konsentrasi nor-epinefrin pada celah sinaptik akan meningkat. Contoh obatnya yaitu Amfetamin, Efedrin, dan Fenilpropanolamin.
- Cara kedua didasarkan bahwa obat-obatan tertentu bekerja dengan menghambat pelepasan kembali atau bisa disebut dengan re-uptake nor-epinefrin kembali menuju ke ujung syaraf, sehingga mengakibatkan konsentrasi nor-epinefrin pada celah sinaptik meningkat. Contoh obatnya yaitu Imipramin dan Desimpramin. Perlu diketahui bahwa jika konsentrasi nor-epinefrin pada syaraf sedikit maka akan menyebabkan kondisi depresi, maka obat-obat yang bekerja secara tidak langsung ini dapat digunakan untuk menangani kasus seperti ini.


Antagonis Adrenergik

       Antagonis adrenergik merupakan obat-obat yang kerjanya yaitu menghambat kerja atau efek dari neurotransmitter utama yaitu nor-epinefrin. Obat golongan ini dapat juga disebut dengan Adrenolitik. Penghambatan efek dari obat-obat ini kebanyakan dengan cara mengeblok reseptor adrenergik, maka dapat juga disebut dengan Blocker. Obat-obatannya dapat dibagi berdasarkan kerja terhadap reseptornya.

- α1 Blocker
     Obat ini bekerja dengan cara mengeblok reseptor adrenergik tipe α1. Reseptor ini berada kebanyakan pada otot polos pembuluh darah. Reseptor ini sebenarnya jika berikatan dengan agonis maka akan mengakibatkan kontraksi pembuluh darah, tetapi jika diberikan obat golongan α1 Blocker maka akan bereaksi sebaliknya yaitu penurunan tekanan darah. Contoh obatnya yaitu Prasozin dan Terasozin. Umumnya obat-obatan golongan ini digunakan untuk terapi hipertensi.

- α2 Blocker
     Obat ini bekerja dengan cara mengeblok reseptor α2. Reseptor ini jika berinteraksi dengan suatu agonis maka akan mengakibatkan penghambatan pelepasan nor-epinefrin pada ujung syaraf. Obat golongan ini jarang digunakan pada klinik. Contoh obatnya yaitu Yohimbin yang digunakan untuk terapi gangguan ereksi.

- Non selective α Blocker
    Obat ini bekerja secara tidak spesifik pada reseptor α yaitu dapat berinteraksi baik pada reseptor α1 maupun pada reseptor α2. Contoh obatnya yaitu Fentolamin.

- β1 Blocker
     Obat golongan ini mengakibatkan penurunan frekuensi dan denyut jantung, karena reseptor ini berada dalam otot jantung. Contoh obatnya yaitu asebutolol, betaksolol, metoprolol, dll.

- β2 Blocker
      Obat ini setelah bereaksi dengan menghambat aktivitas reseptor tersebut oleh suatu agonis. Obat ini mempunyai efek yaitu kontriksi saluran pernafasan. Contoh obatnya yaitu propanolol, tetapi reseptor ini bekerja secara tidak selektif, yaitu dapat mengeblok pada kedua reseptor.
        Sebenarnya masih banyak lagi obat yang bekerja sebagai antagonis adrenergik ini, yaitu seperti obat yang menghambat sintesis nor-epinefrin, obat yang menghambat penyimpanan nor-epinefrin, dan obat yang menghambat pelepasan nor-epinefrin. Tapi....yasudahlah..itu aja cukup ^^



Referensi :
- Nugroho. Agung Endro, 2012, Farmakologi : Obat-obat penting dalam pembelajaran ilmu farmasi dan dunia kesehatan, Pustaka Pelajar : Yogyakarta

Rabu, 06 Juni 2012

Obat-Obat pada Syaraf Otonom : Syaraf Kolinergik

,


    Pada posting bagian anatomi dan fisiologi sistem syaraf otonom telah disinggung bahwa sistem syaraf otonom dibagi menjadi 2 yaitu 1) sistem syaraf simpatik dan 2) sistem syaraf parasimpatik. Pada syaraf simpatik mempunyai sel syaraf preganglion lebih pendek daripada sel syaraf postganglionnya. Selain itu pada sistem syaraf simpatik ini neurotransmitter yang dilepaskan adalah nor-epinefrin atau nor-adrenalin yang akan bereaksi dengan reseptor adrenergik, maka sistem syaraf sipatik ini disebut juga dengan sistem syaraf adrenergik. Pada sistem syaraf parasimpatik memiliki sel syaraf preganglion lebih panjang daripada sel syaraf postganglionnya. Pada sistem syaraf ini neurotransmitter yang dilepaskan oleh ujung sel syaraf adalah asetilkolin yang akan bereaksi dengan reseptor asetilkolin muskarinik ataupun pada reseptor asetilkolin nikotinik. Reseptor nikotinik terdapat pada semua ganglia syaraf otonom (celah antara sel syaraf preganglion dan postganglion), pada neuromuscular junction (celah antara sel syaraf somatik dan sel otot skeletal), dan pada sel kromafin medula adrenal. Sedangkan reseptor muskarinik terdapat pada sel organ efektor syaraf kolinergik, misalnya sel parietal lambung, jantung, saluran pencernaan, dll.
     Penggolongan obat-obatan syaraf otonom ini dibedakan berdasarkan berdasarkan apakah suatu obat tersebut “memacu” atau bahkan “menghambat” syaraf tersebut. Obat yang memacu disebut dengan “Agonis”, sedangkan yang menghambat dinamakan “Antagonis”. Istilah-istilah ini dapat diulas lebih pada pembahasan obat-obatan nanti. ???
    Berdasarkan hal diatas tadi maka obat-obatan sistem syaraf otonom dibedakan menjadi beberapa bagian berikut:
1. Agonis Kolinergik,
2. Antagonis Kolinergik,
3. Agonis Adrenergik, dan
4. Antagonis Adrenergik
        Dalam tulisan ini hanya dibahas tentang syaraf Kolinergik, yaitu Agonis Kolinergik dan Antagonis Kolinergik. Dan untuk Syaraf Adrenergik Insyaallah dalam tulisan yang lain... ^^


Agonis Kolinergik
     Istilah agonis kolinergik berarti obat-obat tersebut dapat berikatan dengan reseptor dan dapat menimbulkan efek. Obat-obatan disini berarti aksinya menyerupai neurotransmitter utama yaitu asetilkolin. Istilah agonis kolinegik ini juga dapat disebut dengan kolinomimetik atau parasimpatomimetik. Target aksi obat-obatan ini ada 2 yaitu 1) Agonis Kolinergik langsung  dan 2) Inhibitor Kolinesterase.


1) Agonis Kolinergik langsung
       Obat ini bereaksi secara langsung dengan reseptor asetilkolin. Telah disebut sebelumnya bahwa reseptor asetilkolin ada 2 yaitu asetilkolin nikotinik dan asetilkolin muskarinik. Oleh sebab itu obat-obatan pada agonis kolinergik langsung ini bereaksi pada 2 tempat yaitu sebagai 1) Agonis Muskarinik dan 2) Agonis Nikotinik.

1.1) Agonis Muskarinik
     Obat golongan ini dibedakan menjadi 2 yaitu obat golongan ester dan alkaloid (menyerupai basa).
    >>Obat golongan ester
           Pada obat golongan ester ini merupakan senyawa ester dari neurotransmitter asetilkolin, oleh karena itu obat golongan ini strukturnya mirip dengan asetilkolin. Oleh karena itu obat golongan ini juga dapat dimetabolisme oleh enzim asetilkolinesterase. Contoh obat golongan ester ini adalah Metakolin, betanekol, dan Karbakol. Metakolin dan Betanekol mempunyai spesifitas hanya pada reseptor muskarinik. Jika karbakol mempunyai spesifitas pada kedua reseptor (muskarinik dan nikotinik).
    >> Obat golongan alkaloid
            Pada obat golongan ini strukturnya tidak mirip dengan asetilkolin, maka obat golongan ini tidak dapat dimetabolisme oleh enzim asetilkolinesterase. Contoh obat golongan ini adalah Pilokarpin. Obat ini hanya mempunyai spesifitas pada reseptor asetilkolin muskarinik.
       Pada dasarnya obat-obat agonis kolinergik ini didasarkan pada tipe reseptornya. Yaitu :
# Reseptor M1 : Bekerja pada sistem syaraf pusat, sistem syaraf perifer, dan sel parietal lambung.
# Reseptor M2 : Bekerja pada organ jantung.
# Reseptor M3 : Berefek eksitatori, otot polos sistem pencernaan, mata, pembuluh darah, dan kalenjar eksokrin
      Berdasarkan tersebut maka efek samping obat-obatan yang bekerja pada agonis kolinergik ini mengikuti pada resetornya, contonya pada reseptor tipe M3 maka efek samping yang ditimbulkan bisa saja peningkatan kontraksi saluran pencernaan.

1.2) Agonis Nikotinik
      Sesuai dengan namanya maka obat ini bekerja pada reseptor asetilkolin nikotinik. Obat ini dapat mempengaruhi pada siste syaraf somatik atau neuromuscular junction. Contoh senyawanya adalah nikotin, lobelin, epibatidin, dll. Nikotin dal lobelin didapatkan dari isolasi dari tanaman tembakau dan senyawa ini dapat digunakan untuk orang yang kecanduan merokok.


2) Inhibitor Kolinesterase
       pada bagian sistem syaraf otonom terdapat suatu enzim yang sangat penting yaitu Asetilkolin asetil hidrolase (AchE) atau biasa disebut dengan asetilkolinesterase. Enzim ini ditemukan pada celah syaraf kolinergik, neuromuscular junction, dan darah. Enzim ini sangat penting karena berfungsi untuk memecah asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Obat dalam hal ini bereaksi dengan menghambat enzim kolinesterase pada celah sinaptik. Sedangkan obat-obatannya beraksi dengan 2 tipe, yaitu sebagai Inhibitor reversibel dan sebagai Inhibitor Ireversibel.

2.1) Inhibitor Reversibel
       Obat ini dapat berinteraksi secara kompetitif dengan sisi aktif enzim AChE dan dapat terbalikkan / reversibel. Obat pada golongan ini bersifat larut air. Contoh obat-obatan yang bersifat inhibitor reversibel ini adalah Edroponium. Obat ini bereaksi dengan cepat yang diberikan secara intravena untuk diagnosa penyakit Myastenia gravis. Pada penderita Myastenia gravis jika diberikan Edroponium maka akan meningkatkan kekuatan otot skeletal.

2.2) Inhibitor Irreversibel
      Obat ini berinteraksi dengan sisi sktif enzim AchE dan bersifat tak terbalikkan dan biasanya senyawa golongan ini bersifat larut dalam lipid sehingga dapat menembus barrier darah otak. Obat ini bereaksi dengan memfosforilasi enzim AchE sehingga mengakibatkan inaktivasi enzim tersebut. Senyawa yang bersifat sebagai Inhibitor Irreversibel ini contohnya yaitu Malation, golongan insektisida dan golongan pestisida (organophosphat). Jika suatu inhibitor irreversibel ini bereaksi terhadap enzim asetilkolinesterase maka enzim ini tidak aktif sehingga tidak dapat memecah asetilkolin menjadi asetat dan kolin dan mengakibatkan penumpukan. Obat yang dapat digunakan adalah Pralidoksim. Obat ini bereaksi dengan menarik kuat Inhibitor Irreversibel dari sisi aktif enzim agar enzim tersebut aktif kembali. Tetapi penggunakaan pralidoksim pada pasien keracunan organophosphat harus dilakukan pada waktu yang cepat, karena dalam waktu beberapa jam setelah keracunan organofospat, enzim terfosforilasi atau kehilangan gugus alkil atau alkoksi sehingga menyebabkan atbil dan lebih resisten terhadap pralidoksim.


Antagonis Kolinergik
       Aktifitas obat antagonis berarti melawan, yaitu melawan dari aksi neurotransmitter : asetilkolin. Secara definitif berarti obat yang menghambat atau mengurangi aktifitas dari asetilkolin atau persyarafan kolinergik. Istilah lain dari antagonis kolinergik ini yaitu Kolinolitik. Obat golongan ini aksinya yaitu mengeblok kanal ion, sebagai inhibitor kompetitif pada reseptor muskarinik, dan sebagai inhibittor pada reseptor nikotinik dan muskarinik. Disini akan lebih dijelaskan pada obat-obatan yang bereaksi sebagai antagonis pada reseptor muskarinik.
     Obat yang bereaksi sebagai antagonis muskarinik mempunyai aktivitas dalam menghambat secara kompetitif pada reseptor asetilkolin muskarinik. Secara struktural, obat-obat ini bersifat seperti asetilkolin, yaitu mempunyai struktur seperti asetilkolin tetapi bagian gugus asetil pada asetilkolin diganti dengan gugus aromatik. Obat ini pada dasarnya yaitu berikatan dengan reseptor tetapi tidak menimbulkan efek, jadi mempunyai harga α=0 meskipun mempunyai afinitas terhadap reseptor.
    Contoh senyawa alami yang bereaksi dengan hal ini adalah Atropin dan Hyosin. Atropin bersifat larut dalam lipid  sehingga mudah untuk diabsorpsi dan dapat menembut barrier darah otak. Atropin ini dapat digunakan pada kasus keracunan organophospat. Yaitu berinteraksi dengan mengeblok kelebihan asetilkolin pada reseptor muskarinik, tetapi tidak pada reseptor nikotinik. Selain itu atropin dapat digunakan untuk penderita asma yaitu dengan relaksasi bronkus. Hyosin atau dinamakan juga dengan Scopolamin dapat digunakan pada pengobatan Motion Sickness.



Referensi :
- Nugroho. Agung Endro, 2012, Farmakologi : Obat-obat penting dalam pembelajaran ilmu farmasi dan dunia kesehatan, Pustaka Pelajar : Yogyakarta

Sabtu, 02 Juni 2012

Interaksi Obat dengan Reseptor

,
     Untuk menghasilkan suatu efek dari obat, maka obat tersebut dalam sirkulasi sistemik harus menjadi obat bebas atau tidak terikat dengan protein plasma. Obat yang terikat dengan protein plasma misalnya Albumin maka molekul obat tersebut tidak dapat berefek karena tidak dapat menembus jaringan dikarenakan ukurannya yang terlalu besar, berbeda halnya jika obat dalam sirkulasi sistemik merupakan suatu obat bebas.
     Beberapa obat dapat menghasilkan efek setelah berikatan dengan komponen organisme yang spesifik. komponen organisme yang spesifik tersebut merupakan suatu protein yang terikat dalam membran sel. Komponen spesifik tersebut adalah Reseptor. Reseptor adalah suatu makromolekul yang berupa lipoprotein, lipid, protein atau asam nukleat yang merupakan target aksi suatu obat untuk dapat menghasilkan efek. Sebagai contoh Neurotransmitter asetilkolin, asetilkolin merupakan suatu substansi transmitter yang dilepaskan dari ujung syaraf otonom dan dapat mengaktivasi sel otot polos skeletal, yaitu menghasilkan kontraksi otot polos.
     Interaksi suatu obat dengan sisi aktif reseptor tergantung pada kesesuaian dari dua molekul tersebut, jadi bisa disimpulkan bahwa suatu obat hanya mau berinteraksi terhadap suatu reseptor atau tidak sembarang reseptor, hal ini merupakan ssalah satu sifat dari reseptor yaitu "spesifitas". Namun meskipun demikian sebenarnya  tidak ada spesifik yang sesungguhnya tetapi beberapa mempunyai aksi selektif yang relatif pada satu tipe dari reseptor. Molekul yang paling sesuai berinteraksi dengan sisi aktif reseptor dan mempunyai ikatan terkuat dikatakan mempunyai "afinitas" terbesar terhadap reseptornya. Afinitas merupakan kemampuan suatu senyawa atau obat untuk berinteraksi dengan satu tipe tertentu dari reseptor. Selain afinitas, syarat obat untuk menghasilkan efek ada "aktivitas Intrinsik dan Efikasi/ Efikasi Instrinsik".
 
     1). Aktivitas Intrinsik merupakan kemampuan suatu obat untuk menghasilkan respon fisiologi. Aktivitas Intrinsik dinotasikan sebagai α yang merupakan besaran efek per unit kompleks obat-reseptor. Terdapat suatu senyawa yang menghasilkan efek Agonis, Antagonis, dan Agonis parsial. Untuk efek-efek tersebut akan dijelaskan nantii... ^^. Agonis mempunyai harga α = 1, Antagonis mempunyai harga α = 0, sedangkan untuk Agonis parsial mempunyai harga 1< α < 0. Untuk Agonis parsial mempunyai harga tersebut karena terdapat suatu senyawa atau obat yang memiliki aksi Agonis maupun Antagonis, Jadi aktivitas berdasarkan agonis parsial tidak akan menghasilkan efek maksimum.

     2). Efikasi/ Efikasi Intrinsik merupakan kemampuan obat untuk menghasilkan stimulus yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu efek. Dilihat sepintas dari Aktivitas Intrinsik dengan Efikasi Intrinsik merupakan hal yang sama tetapi ini merupakan suatu hal yang berbeda. Pada Aktivitas Intrinsik cenderung pada kemampuan kompleks obat-reseptor untuk menghasilkan suatu respon atau efek, Sedangkan Efikasi Intrinsik cenderung pada kemampuan komples obat-reseptor yang hanya menghasilkan suatu stimulus yang akan menghasilkan suatu respon atau efek.

     Reseptor selain berfungsi sebagai target aksi suatu obat, tetapi juga dapat berfungsi untuk :
1). Merangsang perubahan permeabilitas membran sel
2). Pembentukan pembawa pesan kedua (second mesenger) contohnya cAMP, diasilgliserol, dan Inositol trifosfat.
3). Mempengaruhi transkripsi Gen.
     Dalam interaksi obat dengan reseptor umumna terdapat 2 tipe yaitu Agonis dan Antagonis.


1). Agonis
             Agonis merupakan Interaksi obat dengan reseptor yang dapat berinteraksi dan menghasilkan suatu stimulus yang kemudian menghasilkan respon fisiologi. Agonis mempunyai harga α = 1 karena mampu berikatan dengan reseptor dan menghasilkan efek secara maksimum. Dalam menghasilkan respon fisiologi berlangsung melalui 2 cara :
a. Agonisme langsung,,
    Dalam agonisme langsung intinya dalam menghasilkan efek atau respon fisiologi, obat berikatan dengan reseptor yang kemudian mengakibatkan perubahan kondisi yang kemudian menghasilkan perubahan di dalam sel yang kemudian menghasilkan respon fisiologi.
b. Agonisme Tidak langsung,,
     Dalam agonisme tidak langsung ini diperantarai oleh senyawa Endogen tertentu. Senyawa endogen merupakan suatu senyawa yang berasal dari dalam tubuh dan mempunyai fungsi normal tertentu dalam tubuh, sebagai contoh Neurotransmitter.

2). Antagonis
           Antagonis merupakan suatu kejadian yang mengakibatkan pengurangan atau penghapusan suatu respon fisiologi tertentu. Senyawa antagonis juga dapat berinteraksi dengan reseptor tetapi tidak dapat menghasilkan efek, maka senyawa antagonis mempunyai afinitas tetapi mempunyai harga α = 0 karena tidak menghasilkan efek.


Kata-kata terkait : AgonisAntagonisReseptorNeurotransmitter

Kamis, 31 Mei 2012

Farmakokinetik : Ekskresi

,
       Dalam proses farmakokinetik obat setelah obat mengalami fase absorpsi, distribusi, dan biotransformasi, obat akhirnya mengalami fase ekskresi. Ekskresi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik menuju ke organ ekskresi. Obat mengalami ekskresi bertujuan untuk mendetoksifikasi obat, karena telah diketahui bahwa obat dianggap racun/ zat asing oleh tubuh. Organ ekskresi juga bermacam-macam contohnya yang paling umum adalah ginjal, kemudian paru-paru, saliva, keringat, air susu, empedu, dll.
      Pada jalur ekskresi melalui ginjal, metabolit-metabolit obat diekskresikan melalui urine melalui mekanisme filtrasi glomerulus, sekresi tubular aktif, dan reabsorpsi tubular. Ginjal merupakan organ utama dalam proses ekskresi. Organ ini mengekskresikan senyawa dari sirkulasi sistemik atau dari darah guna mempertahankan miliu internal. Dalam ginjal terdapat unit fungsional terkecil yang disebut dengan Nefron. Nefron terdiri atas pembuluh proksimal, lengkung Henle, dan pembuluh distal, sedangkan bagian kapiler terdiri dari glomerulus yang terdapat dalam kapsula Bowmann.

                                   

                                      (Picture obtained from whatteenagersneed.blogspot.com)

Proses ekskresi melalui ginjal terdapat 3 tahapan yaitu :
1. Filtrasi Glomerulus
2. Sekresi / reabsorpsi tubulus aktif
3. Difusi aktif

      Dalam proses ekskresi terdapat parameter Kliren (Clearance). Kliren adalah Parameter eliminasi obat yang meliputi metabolisme/ biotransformasi dan ekskresi untuk dikeluarkan dari tubuh melalui organ ekskresi.



Referensi : Nugroho, Agung Endro. 2012. Prinsip Aksi & Nasib Obat Dalam Tubuh. Pustaka Pelajar : Yogyakarta


Kata-kata terkait : EkskresiNefronGinjalTubulus RenalisTubulus Kolektivus

Sabtu, 26 Mei 2012

Farmakokinetik : Metabolisme/ Biotransformasi

,

    
     Metabolisme adalah proses-proses kimia yang terjadi pada organisme, termasuk pada tingkat seluler. Metabolisme juga dengan reaksi enzimatis, maksudnya adalah metabolisme terjadi selalu dengan katalisator enzim. Metabolisme mempunyai 3 tujuan utama yaitu :

1. Menyediakan energi bagi tubuh dan pemeliharaan
2. Dapat berfungsi sebagai Katabolisme maupun Anabolisme, Katabolisme adalah proses penguraian dan pembebasan energi dari senyawa-senyawa organik melalui proses respirasi. Sedangkan anabolisme adalah proses-proses penyusunan energi kimia melalui sintesis senyawa-senyawa organik.
3. Mengubah senyawa asing/ obat menjadi lebih polar sehingga mudah untuk diekskresikan.

     Metabolisme disebut juga dengan biotransformasi meskipun banyak ahli menyatakannya berbeda. Sebagian ahli menyatakan metabolisme itu hanya dinayatakan sebagai perubahan-perubahan baik biokimia maupun kimia yang dilakukan tubuh terhadap senyawa endogen, sedangakn biotransformasi hanya ditujukan untuk senyawa-senyawa eksogen/ xenobotika.
Proses metabolisme sebagian besar terdapat pada organ hati khususnya pada sub seluler retikulum endoplasma. Dan hasil dari proses metabolisme ini disebut dengan metabolit.

    Telah disebut sebelumnya bahwa metabolisme terjadi dengan bantuan enzim, enzim-enzim metabolisme ini terdapat pada fraksi mikrosomal biasanya enzim sitokrom P-450. Obat setelah diabsorpsi akan masuk ke sirkulasi sistemik yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh, setelah itu akan dimetabolisme sehingga bioavailabilitasnya menurun, proses ini dinamakan first past effect/ first past metabolism. Metabolisme umumnya merubah zat asing yang dari yang non polar menjadi polar, sehingga mudah untuk diekskresikan dengan urin melalui organ ekskresi. Untuk mengubah senyawa menjadi polar ini dibutuhkan reaksi-reaksi dalam metabolisme. Reaksi metabolisme obat atau biotransormasi obat ini dibedakan menjadi 2 yaitu :

1. Metabolisme Fase I
Pada metabolisme fase I ini merupakan reaksi non sintetik, umumnya pada reaksi ini obat dirubah gugus fungsionalnya agar dapat bereaksi dengan enzim-enzim pada metabolisme Fase II. Reaksi fase I ini meliputi oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi, dan isomerasi. Sedangkan enzim yang berperan meliputi Sitokrom P-450 (CYPs), Flavin containing monooksigenase (FMOs), Alkohol & Aldehid dehidrogenase, amine oksidase, Cyclooksigenase, Reduktase, dan Hidrolase.

2. Metabolisme Fase II
Reaksi metabolisme fase II disebut juga dengan fase sintetik atau konjugasi. Metabolisme fase II ini merupakan jalur detoksifikasi, karena hasil metabolisme atau metabolit umumnya akan dirubah menjadi non aktif meski ada suatu senyawa dimetabolisme menjadi lebih toksik. Selain itu pada reaksi fase II ini senyawa akan dikonjugasikan dengan konjugat sehingga senyawa tersebut akan menjadi polar atau larut air sehingga mudah untuk diekskreasikan. Konjugat pada hal ini contohnya seperti sulfat, glukoronat, dan merkapturat. Gugus yang sering terlibat pada reaksi ini adalah sulfat, metil, asetil, glisil, dan glukoronil. Sedangkan enzim yang berperan meliputi Glukoronidase, Sulfotransferase, Metiltransferase, Glutation transferase, dan Asetil transferase.

Metabolisme juga dapat dipengaruhi oleh berbagai hal contonya seperti :
1. Intrinsik obat
2. Fisiologi organisme
3. Faktor farmakologi
4. Kondisi patologi
5. Susunan makanan
6. Lingkungan




Referensi : Nugroho, Agung Endro. 2012. Prinsip Aksi & Nasib Obat Dalam Tubuh. Pustaka Pelajar : Yogyakarta


Kata-kata terkait : Sitokrom P450BiotransformasiKatalisasiEnzim BiotransformasiEnzimMetabolisme

Farmakokinetik : Distribusi

,

      Dalam mempelajari Nasib obat dalam tubuh terdapat 3 fase yang meliputi fase biofarmasetik, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik.

       Secara singkat fase biofarmasetik adalah fase dimana semua hal yang terkait dengan pengaruh-pengaruh pembuatan sediaan terhadap kegiatan terapeutik obat. Fase ini meliputi waktu awal penggunaan obat melalui mulut hingga pelepasan zat aktifnya menuju ke cairan tubuh.

      Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai pengaruh tubuh terhadap obat yang meliputi proses ADME yaitu Absorpsi, Distribusi, Metabolisme/ Biotransformasi, dan Ekskresi.

     Sedangkan Farmakodinamik dapat didefinisikan sebagai pengaruh obat terhadap tubuh. Yang dimaksud dengan pengaruh disini adalah bagaimana obat tersebut dapat mempengaruhi aspek fisiologis ataupun biokimia dalam tubuh.

     Dalam tulisan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai Distribusi obat dalam tubuh. Distribusi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik menuju ke suatu tempat dalam tubuh baik itu cairan maupun jaringan-jaringan tubuh. Tempat distribusi adalah cairan pada berbagai jaringan yaitu protein plasma, hati, ginjal, tulang, lemak, barrier darah otak, barrier plasenta. Sedangkan mekanisme transpor dari molekul obat tersebut apat melalui difusi pasif, transpor konvektif, maupun pinositosis.

     Telah diketahui sebelumnya bahwa molekul obat setelah diabsorpsi dari tempat aplikasinya akan menuju ke sirkulasi sistemik, dalam sirkulasi sistemik ini molekul obat akan berikatan dengan protein pembawa (α-Glikoprotein dan Albumin). Selain molekul obat yang berikatan dengan protein plasma ini juga terdapat molekul obat bebas ; yaitu molekul obat yang tidak berikatan dengan protein pembawa. Obat dalam bentuk bebas ini dapat langsung menuju ke reseptor dalam jaringan, sedangkan molekul obat yang berikatan dengan protein pembawa akan sulit untuk berikatan dengan reseptor dalam jaringan. Hal ini diakibatkan karena molekul obat yang berikatan dengan protein pembawa memiliki ukuran yang lebih besar daripada obat bebas.


Kata-kata terkait : Biokimia

Selasa, 22 Mei 2012

Farmakokinetik : Absorpsi

,

           Dalam proses farmakokinetika yang pertama dialami obat adalah proses absorpsi. Absorpsi merupakan perpindahan obat atau molekul obat dari tempat aplikasinya untuk menuju ke sirkulasi sistemik. Agar obat dapat diabsorpsi, zat bahan aktif obat harus dilepas dari bentuk sediaannya, dalam hal ini faktor disolusi obat merupakan hal yang penting. Contohnya pada sediaan tablet, kaplet, dll. Pada Tablet dan Kaplet, obat pertama akan pecah menjadi granul-granul kemudian zat aktifnya lepas. Selain itu pelepasan obat dari bentuk sediaannya juga dipengaruhi oleh faktor fisika kimia dari obat itu sendiri.
                Proses absorpsi obat dapat terjadi pada berbagai tempat dalam tubuh, contohnya seperti bagian bukal (pipi bagian dalam), sublingual (bawah lidah), gastrointestinal (lambung dan usus), kulit (kutan), muskular (otot),peritoneal (rongga perut), okular (mata), nasal (hidung), paru-paru, dan rektal. Mekanisme absorpsi bisa secara difusi pasif, transpor aktif, transpor konvektif, difusi terfasilitasi, transpor pasangan ion, dan pinositosis.

                Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat meliputi :

1. Kecepatan disolusi obat
          Seperti yang telah tertulis sebelumnya, dalam pelepasan zat aktif dari suatu obat dibutuhkan parameter Disolusi obat. Kecepatan disolusi obat ini berbanding lurus oleh luas permukaan, jadi setelah obat utuh pecah menjadi granul-granul dalam saluran pencernaan/ organ pencernaan, maka luas permukaannya juga akan semakin besar maka disolusi obat juga semakin besar.

2. Ukuran partikel
          Faktor Ukuran partikel ini sangat penting, karena semakin kecil ukuran partikel obat, maka obat tersebut juga semakin mudah larut dalam cairan daripada obat dengan ukuran partikel yang besar.

3. Kelarutan dalam lipid atau air
        Dalam faktor ini dipengaruhi oleh koefisien partisi obat. Koefisien partisi merupakan perbandingan obat dalam fase air (polar) dan fase minyak (non polar). Telah diketahui bahwa medium pelarutan obat merupakan zat polar, sedangkan tempat absorbsi contohnya dinding usus sebagian besar adalah non polar. Jadi koefisien partisi ini sangat penting dalam menentukan absorbsi obat. Semakin besar koefisien partisi, maka semakin besar pula kekuatan partikel obat tersebut untuk menembus membran/ dinding usus. Sebaliknya obat yang memiliki koefisien partisi yang kecil, berarti obat tersebut lebih mudah larut dalam zat polar, telah diketahui sebelumnya bahwa tempat untuk absorpsi obat sebagian besar adalah non polar, maka obat-obatan yang seperti ini sulit untuk diabsorpsi.

4. Ionisasi
         Sebagian obat merupakan elektrolit lemah sehingga ionisasinya dipengaruhi oleh pH medium. Dalam hal ini terdapat dua bentuk obat, yaitu obat yang terion dan obat yang tek terion. Obat yang terion lebih mudah larut dalam air, sedangkan obat dalam bentuk tak terion lebih mudah larut dalam lipid serta lebih mudah untuk diabsorpsi. Hal ini bisa diterapkan contohnya pada obat yang bersifat asam, obat yang bersifat asam tersebut akan terionisasi pada pH basa dan kita ketahui bahwa pada lambung pHnya asam dan pada usus pHnya basa. Obat-obatan yang bersifat asam ini akan terionisasi pada usus (basa), maka obat yang telah terionisasi ini akan sulit menembus dinding usus yang sebagian besar komponennya adalah lipid/ zat non polar, maka obat-obatan asam ini lebih mudah diabsorpsi pada gaster/ lambung karena pada lambung pH-nya asam, maka obat tidak akan terionisasi. Untuk obat-obatan yang bersifat basa dianalogikan sebaliknya, secara singkat obat-obatan basa akan terionisasi pada lambung (asam) dan tak terionisasi pada usus (basa), maka akan lebih mudah diabsorpsi oleh dinding usus.

5. Aliran darah pada tempat absorpsi
      Aliran darah akan membantu pada proses absorpsi obat yaitu mengambil obat menuju ke sirkulasi sistemik. Semakin besar aliran darah maka semakin besar pula obat untuk diabsorpsi.

6. Kecepatan pengosongan lambung
        Obat yang diabsorpsi di usus akan meningkat proses absorpsinya jika kecepatan pengosongan lambung besar dan sebaliknya.

7. Motilitas usus
     Motilitas dapat diartikan pergerakan, dalam hal ini merupakan pergerakan usus. Jika kecepatan motilitas usus ini besar maka akan mengurangi absorpsi obat karena kontak antara obat dengan absorpsinya adalah pendek. Motilitas usus ini besar contohnya adalah pada saat diare.

8. Pengaruh makanan atau obat lainnya
      Beberapa makanan atau obat dapat mempengaruhi absorpsi obat lainnya.

9. Cara pemberian
       Pada cara pemberian ini dibedakan menjadi dua, yaitu obat yang diberikan secara enteral dan secara parental. Pada pemberian enteral ini contohnya seperti pemberian secara oral, sublingual, dan secara perrektal. Sedangkan pada pemberian parental contohnya seperti injeksi dan inhalasi. Pada pemberian secara parental pastinya memberikan efek lebih cepat daripada pemberian secara enteral.



Referensi : Nugroho, Agung Endro. 2012. Prinsip Aksi & Nasib Obat Dalam Tubuh. Pustaka Pelajar : Yogyakarta

Senin, 21 Mei 2012

Anatomi dan Fisiologi Sistem Syaraf

,

      Syaraf adalah serat-serat yang menghubungkan organ-organ tubuh dengan sistem syaraf pusat dan antar bagian sistem syaraf lainnya. Syaraf membawa impuls-impuls atau rangsangan dari dan ke otak atau pusat syaraf. Bagian terkecil dari sistem syaraf adalah neuron. Neuron adalah sel syaraf yang terdiri dari nukleus, sitoplasma, dendrit, dan akson. Akson merupakan tonjolan seperti batang yang keluar dari badan sel yang berfungsi untuk menghantarkan impuls-impuls atau rangsangan menuju ke sel organ efektor. Sedangkan dendrit merupakan serabut pemanjangan dari sitoplasma yang berasal dari badan sel / soma. Pada saat pembentukan batang syaraf, serabut-serabut syaraf disusun menjadi berkas-berkas yang disebut fasikuli. Sebuah serabut syaraf mempunyai kemampuan konduktivitas (penghantar) dan eksitabilitas (dapat dirangsang). Serabut syaraf ini berkemampuan memberikan reaksi atas rangsangan dari sumber luar, contohnya seperti rangsangan mekanik, elektrik, kimiawi, atau fisik.


                              
                                          (Picture obtained from enchantedlerning.com)


   Sistem syaraf dibedakan menjadi 2 yang meliputi sistem syaraf pusat dan sistem syaraf perifer.

1. Sistem syaraf pusat
         Sistem syaraf pusat disebut juga dengan medula spinalis dan terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Sistem syaraf pusat ini mengontrol berbagai syaraf yang ada dalam tubuh jadi memiliki peran yang sangat sentral.

2.  Sistem syaraf perifer
        Sistem syaraf perifer merupakan syaraf penghantar dari sistem syaraf pusat menuju ke sel organ efektor contohnya sel jantung, paru-paru, dll. Jadi sistem syaraf ini sangat bergantung dari sistem syaraf pusat. Sistem syaraf perifer ini juga dibagi menjadi 2 yaitu sistem syaraf somatik dan sistem syaraf otonom.

A. Sistem syaraf somatik
        Sistem syaraf somatik merupakan bagian dari sistem syaraf perifer yang merupakan sistem motorik karena berhubungan dengan sel otot/ skeletal. Karena sistem syaraf ini sebagai sistem motorik maka sistem syaraf ini berfungsi untuk menggerakkan berbagai gerakan tubuh, contohnya seperti gerakan tangan, kaki, dll. Oleh karena itu sistem syaraf somatik ini merupakan gerakan yang disadari/ terjadi atas kesadaran.

B. Sistem syaraf otonom
     Sistem syaraf otonom merupakan bagian dari sistem syaraf perifer yang memperantarai persyarafan menuju sel organ efektor, misalnya sel jantung. Sistem syaraf ini merupakan persyarafan yang aktivitasnya tanpa disadari, contohnya dalam organ jantung ; kita tidak bisa menghentikan maupun meningkatkan kecepatan dari gerakan memompa dari jantung ini. Sistem syaraf otonom ini terdistribusi secara meluas di dalam tubuh dan berfungsi untuk mengatur aktivitas organ-organ tubuh serta bertanggung jawab atas homeostatis tubuh. Dalam sistem syaraf otonom terdapat 2 bagian yang digunakan untuk menghantarkan impuls atau rangsangan, yaitu sel syaraf preganglion dan sel syaraf postganglion. Sedangkan celah yang merupakan pertemuan antara sel syaraf satu dengan sel syaraf yang lainnya disebut dengan ganglia, disini sel syaraf yang dimaksud adalah sel syaraf preganglion dan sel syaraf postganglion. Berdasarkan karakteristik dan fungsinya, sistem syaraf otonom dibagi menjadi 2, yaitu sistem syaraf simpatik dan sistem syaraf parasimpatik, berikut akan dijelaskan mengenai kedua sistem syaraf ini :

I. Sistem syaraf simpatik
     Sistem syaraf simpatik disebut juga dengan sistem thoracolumbar karena sel syaraf preganglionnya berasal dari bagian thorax dan lumbar. Pada sistem syaraf simpatik ini syaraf preganglionnya lebih pendek daripada syaraf postganglion. Sistem ini juga bersifat katabolik, artinya dapat menghasilkan energi.

II. Sistem syaraf parasimpatik
      Sistem syaraf parasimpatik disebut juga sistem craniosakral karena syaraf preganglionnya berhubungan dengan batang otak dan sumsum tulang belakang bagian sakral. Sistem syaraf ini bersifat anabolik, artinya apat menyimpan energi untuk pemeliharaan fungsi organ. Pada sistem syaraf ini berbeda dengan sistem syaraf simpatik, pada sistem syaraf ini syaraf preganglionnya lebih panjang daripada syaraf postganglionnya.

   Pada sistem syaraf ini dikenal juga nama Neurotransmitter. Neurotransmitter merupakan suatu zat kimia yang dilepaskan oleh ujung sel syaraf yang berfungsi untuk menghantarkan impuls atau rangsangan menuju ke sel organ efektor. Neurotransmitter pada sistem syaraf simpatik adalah nor-epinefrin atau nor-adrenalin dan resptornya adalah adrenergik. Sedangkan pada sistem syaraf parasimpatik neurotransmitternya adalah asetilkolin dan reseptornya adalah asetilkolin nikotinik dan asetilkolin muskarinik.


Referensi : Nugroho, Agung Endro. 2012. Farmakologi : Obat-obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan. Pustaka Pelajar : Yogyakarta




Kata-kata terkait : NeuronMedula SpinalisBadan selSel GliaSel SyarafNorepinefrinSinapsDendritAksonSistem SyarafNeurotransmitter

Model Kompartemen

,

1. Model Mammillary
Model terdiri atas satu atau lebih kompartemen perifer yang dihubungkan ke suatu kompartemen sentral. Kompartemen sentral mewakili plasma dan jaringan-jaringan yang perfusinya tinggi dan secara cepat berkesetimbangan dengan obat. Model mamillary dapat dianggap sebagai suatu sistem yang berhubungan secara erat, karena jumlah obat dalam setiap kompartemen dalam setiap sistem tersebut dapat diperkirakan setelah obat dimasukkan ke dalam suatu kompartemen tertentu. Menurut Mammillary model kompartemen dibagi menjadi :
a)            Kompartemen satu terbuka iv
Perfusi terjadi sangat cepat seperti tanpa proses distribusi sebab distribusi tidak diamati karena terlalu cepatnya. (Hanya ada satu fase yaitu eliminasi).
b)            Kompartemen satu terbuka ev
Sebelum memasuki kompartemen sentral, obat harus mengalami absorbsi. (Terdiri dari 2 fase yaitu absorbsi dan eliminasi).
c)            Kompartemen 2 terbuka intravaskuler
Kompartemen dianggap hanya satu dan ada proses distribusi dari sentral ke perifer atau sebaliknya. Tidak ada proses absorbsi tetapi ada proses eliminasi.
d)            Kompartemen 2 terbuka ekstravaskuler
Obat mengalami proses absorpsi, distribusi dan eliminasi.

2. Model Caternary
Dalam farmakokinetika model mammilary harus dibedakan dengan macam model kompartemen yang lain yang disebut model caternary. Model caternary terdiri atas kompartemen-kompartemen yang bergabung satu dengan yang lain menjadi satu deretan kompartemen. Sebaliknya, model mammilary terdiri atas satu atau lebih kompartemen yang mengelilingi suatu kompartemen sentral.
3. Model Fisiologik (Model Aliran)
Model fisiologik juga dikenal sebagai model aliran darah atau model perfusi, merupakan model farmakokinetik yang didasarkan atas data anatomik dan fisiologik yang diketahui.  Makna yang nyata dari model fisiologik adalah dapat digunakannya  model ini dalam memprakirakan farmakokinetika pada manusia dari data hewan. Jadi, parameter-parameter fisiologik dan anatomik dapat digunakan  untuk memprakirakan efek obat pada manusia berdasar efek obat pada hewan.
(Shargel dan Yu, 1988)

Sumber : http://gaulbarengfarmasi.wordpress.com/ 

Minggu, 13 Mei 2012

Metode Analisis Asidi-alkalimetri

,
     Asidi-alkalimetri adalah suatu metode analisis berdasarkan teknik titrimetri yang digunakan untuk menetapkan kadar suatu sampel berdasarkan reaksi netralisasi yaitu dengan cara mereaksikan zat yang bersifat asam dengan basa atau sebaliknya.

     Asidimetri merupakan penetapan kadar secara kuantitatif terhadap senyawa yang bersifat basa dengan menggunakan larutan baku bersifat asam.

     Alkalimetri merupakan penetapan kadar secara kuantitatif terhadap senyawa yang bersifat asam dengan menggunakan larutan baku yang bersifat basa.

    Sebelum membahas tentang reaksi netralisasi, sebaiknya mengetahui apakah itu asam atau apa itu basa. Terkait dengan pengertian asam dan basa, terdapat 3 teori yang terkenal yaitu teori asam dan basa dari Arrhenius, Brownsted-Lowry, dan Lewis.
1. Arrhenius mendiskripsikan asam adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air akan terurai menjadi ion hidrogen (H+) dan anion, sedangkan basa adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air akan menghasilkan ion hidroksida (OHֿ) dan kation. Tetapi teori dari Arrhenius ini hanya berlaku untuk senyawa anorganik dalam pelarut air.
2. Brownsted-Lowry mendiskripsikan asam sebagai suatu spesi yang dapat memberikan proton atau biasa disebut dengan donor proton. Contoh molekul asam adalah HCl, H2SO4, HNO3, H2S, dll, asam kation adalah H3O+, NH4+, asam anion adalah HSO4-, HCO3-, H2PO4-, dll. Sedangkan basa adalah spesi yang dapat menerima proton/ akseptor proton. Contoh molekul basa antara lain NaOH, Ca(OH)2, dll, basa kation adalah Ag(NH3)2+, basa anion adalah OH-, SO4-2, CO3-2, dll.
3. Menurut Lewis asam adalah suatu spesi yang dapat menerima pasangan elektron, sedangkan basa merupakan suatu spesi yang dapat memberikan pasangan elektron. Jadi menurut Lewis suatu asam tidak harus memiliki hidrogen.
 

     Reaksi netralisasi adalah reaksi yang terjadi jika suatu asam direaksikan dengan menggunakan basa atau sebaliknya. Jika suatu asam direaksikan dengan basa, maka pH larutan yang terbentuk akan naik. Sebaliknya jika suatu larutan yang bersifat basa direaksikan dengan menggunakan larutan yang bersifat asam, maka pH larutan akan turun.

    Dalam analisis menggunakan metode Asidi-alkalimetri ini diperlukan suatu indikator. Menurut W. Ostwald, indikator adalah suatu senyawa organik kompleks dalam bentuk asam atau dalam bentuk basa yang mampu berada dalam dua macam bentuk warna yang berbeda dan dapat saling berubah warna dari bentuk satu ke bentuk yang lain ada konsentrasi H+ tertentu atau pada pH tertentu. Indikator disini berperan dalam menunjukkan titik akhir titrasi. Pemilihan indikator yang akan digunakan juga sangat penting, kisaran harga indikator adalah 1 unit pH disekitar nilai pKa nya.

Mekanisme indikator adalah sebagai berikut :

1. terbentuk hasil reaksi yang mengalami disosiasi lemah.
2. terjadi hasil reaksi sebagai gas atau sebagai endapan.
3. pemisahan ion sebagai ion kompleks.


Referensi :
=> Gandjar, I.G., dan Abdul, R., 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka pelajar, Yogyakarta
 

Just an Ideas and Creativity Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger Templates