Sabtu, 09 Juni 2012

Obat-obat pada Syaraf Otonom : Syaraf Adrenergik

,

      Pada posting bagian anatomi dan fisiologi sistem syaraf otonom telah disinggung bahwa sistem syaraf otonom dibagi menjadi 2 yaitu 1) sistem syaraf simpatik dan 2) sistem syaraf parasimpatik. Pada syaraf simpatik mempunyai sel syaraf preganglion lebih pendek daripada sel syaraf postganglionnya. Selain itu pada sistem syaraf simpatik ini neurotransmitter yang dilepaskan adalah nor-epinefrin atau nor-adrenalin yang akan bereaksi dengan reseptor adrenergik, maka sistem syaraf sipatik ini disebut juga dengan sistem syaraf adrenergik. Pada sistem syaraf parasimpatik memiliki sel syaraf preganglion lebih panjang daripada sel syaraf postganglionnya. Pada sistem syaraf ini neurotransmitter yang dilepaskan oleh ujung sel syaraf adalah asetilkolin yang akan bereaksi dengan reseptor asetilkolin muskarinik ataupun pada reseptor asetilkolin nikotinik. Reseptor nikotinik terdapat pada semua ganglia syaraf otonom (celah antara sel syaraf preganglion dan postganglion), pada neuromuscular junction (celah antara sel syaraf somatik dan sel otot skeletal), dan pada sel kromafin medula adrenal. Sedangkan reseptor muskarinik terdapat pada sel organ efektor syaraf kolinergik, misalnya sel parietal lambung, jantung, saluran pencernaan, dll.
     Penggolongan obat-obatan syaraf otonom ini dibedakan berdasarkan berdasarkan apakah suatu obat tersebut “memacu” atau bahkan “menghambat” syaraf tersebut. Obat yang memacu disebut dengan “Agonis”, sedangkan yang menghambat dinamakan “Antagonis”. Istilah-istilah ini dapat diulas lebih pada pembahasan obat-obatan nanti. ???
    Berdasarkan hal diatas tadi maka obat-obatan sistem syaraf otonom dibedakan menjadi beberapa bagian berikut:
1. Agonis Kolinergik,
2. Antagonis Kolinergik,
3. Agonis Adrenergik, dan
4. Antagonis Adrenergik
        Pada tulisan kali ini hanya akan tertulis tentang obat-obat yang bekerja pada reseptor adrenergik saja, karena pada artikel sebelumnya telah dibahas tentang obat-obat pada reseptor kolinergik. Disini obat-obat yang bekerja pada reseptor adrenergik  ada 2 golongan besar yaitu obat yang bekerja secara agonis adrenergik, dan secara antagonis adrenergik.


Agonis Adrenergik

       Agonis adrenergik merupakan obat yang memacu atau meningkatkan syaraf adrenergik. Oleh karena itu obat-obat yang bekerja secara agonis adrenergik ini beraksi menyerupai neurotransmitternya, yaitu nor-adrenalin. Agonis adrenergik juga dinamakan dengan Adrenomimetik. Obat-obat yang bekerja dengan cara ini bereaksi dengan reseptor adrenergik, yaitu reseptor adrenergik α & reseptor adrenergik β. Reseptor α sendiri terdapat 2 tipe, dan reseptor β juga terdapat 2 tipe yang digunakan obat-obat golongan ini untuk berinteraksi. Efek aktivasi dari kedua jenis reseptor ini dapat dilihat pada bagian berikut :

1) Reseptor α1 berada pada otot polos pembuluh darah. Jadi efek yang dihasilkan bila suatu agonis berinteraksi dengan reseptor ini adalah kontraksi otot pembuluh darah.
2) Reseptor α2 terdapat pada sel syaraf bagian postganglion simpatik. Aktivasi oleh agonis mengakibatkan penghambatan pelepasan neurotransmitter nor-adrenalin pada ujung syaraf simpatik.
3) Reseptor β1 terdapat pada otot jantung. Aktivasi oleh suatu agonis menyebabkan peningkatan frekuensi dan denyut jantung.
4) Reseptor β2 terdapat pada otot polos uterus dan bagian pernafasan. Aktivasi oleh agonis menyebabkan relaksasi otot polos uterus ataupun relaksasi bronkus pada pernafasan.

      Obat-obat yang bekerja berdasarkan agonis adrenergik ini dibedakan menjadi 2 yaitu agonis secara langsung dan agonis yang bekerja secara langsung. Hal ini dibedakan hanya pada interaksi dengan reseptornya.

1) Agonis Adrenergik Langsung
      Agonis Adrenergik langsung berarti obat-obat ini berinteraksi secara langsung dengan reseptor adrenergik dan kemudian menghasilkan efek dengan cara memacu efek nor-epinefrin itu sendiri. Telah diketahui sebelumnya bahwa reseptor adrenergik terdapat pada 2 tipe (α & β), maka obatnya pun dapat dibedakan pada kedua jenis reseptor ini.
- Reseptor α1 : obat-obat sebagai agonis α1 contohnya yaitu Oksimetazolin & Fenilefrin. Kedua obat ini berinteraksi dengan reseptor α1 yang menyebabkan kontraksi pembuluh darah.
- Reseptor α2 : Obat sebagai agonis α2 contohnya yaitu Klonidin. Obat ini berinteraksi dengan reseptor α2 dan mengakibatkan penghambatan pelepasan nor-epinefrin oleh ujung syaraf simpatik yang  kemudian menyebabkan penurunan tekanan darah.
- Reseptor β1 : Reseptor ini kebanyakan berada pada jantung. Obat sebagai agonis β1 contohnya adalah Dobutamin. Obat ini setelah berinteraksi dengan reseptornya akan menghasilkan efek yaitu meningkatkan frekuensi dan denyut jantung.
- Reseptor β2 : Reseptor ini terdapat pada otot polos uterus dan pada bagian pernafasan. Obat sebagai agonis β2 contohnya adalah Terbutalin. Obat ini dapat merelaksasi otot polos bronkus sehingga dapat digunakan unutk terapi asma.

2) Agonis Adrenergik tidak langsung
      Obat golongan ini bekerja dengan meningkatkan kadar nor-epinefrin pada celah sinaptik. Peningkatan kadar nor-epinefrin ini dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu : 1) Dengan melepaskan cadangan nor-epinefrin pada vesikel 2)Dengan menghambat re-uptake nor epinefrin menuju ke ujung syaraf. Oleh karena itu obat-obat yang bekerja secara tidak langsung ini dibedakan 2 macam berdasarkan kedua cara tadi
- Pada cara pertama, obat-obat akan memacu ujung syaraf untuk melepaskan cadangan nor-epinefrin, hasilnya yaitu konsentrasi nor-epinefrin pada celah sinaptik akan meningkat. Contoh obatnya yaitu Amfetamin, Efedrin, dan Fenilpropanolamin.
- Cara kedua didasarkan bahwa obat-obatan tertentu bekerja dengan menghambat pelepasan kembali atau bisa disebut dengan re-uptake nor-epinefrin kembali menuju ke ujung syaraf, sehingga mengakibatkan konsentrasi nor-epinefrin pada celah sinaptik meningkat. Contoh obatnya yaitu Imipramin dan Desimpramin. Perlu diketahui bahwa jika konsentrasi nor-epinefrin pada syaraf sedikit maka akan menyebabkan kondisi depresi, maka obat-obat yang bekerja secara tidak langsung ini dapat digunakan untuk menangani kasus seperti ini.


Antagonis Adrenergik

       Antagonis adrenergik merupakan obat-obat yang kerjanya yaitu menghambat kerja atau efek dari neurotransmitter utama yaitu nor-epinefrin. Obat golongan ini dapat juga disebut dengan Adrenolitik. Penghambatan efek dari obat-obat ini kebanyakan dengan cara mengeblok reseptor adrenergik, maka dapat juga disebut dengan Blocker. Obat-obatannya dapat dibagi berdasarkan kerja terhadap reseptornya.

- α1 Blocker
     Obat ini bekerja dengan cara mengeblok reseptor adrenergik tipe α1. Reseptor ini berada kebanyakan pada otot polos pembuluh darah. Reseptor ini sebenarnya jika berikatan dengan agonis maka akan mengakibatkan kontraksi pembuluh darah, tetapi jika diberikan obat golongan α1 Blocker maka akan bereaksi sebaliknya yaitu penurunan tekanan darah. Contoh obatnya yaitu Prasozin dan Terasozin. Umumnya obat-obatan golongan ini digunakan untuk terapi hipertensi.

- α2 Blocker
     Obat ini bekerja dengan cara mengeblok reseptor α2. Reseptor ini jika berinteraksi dengan suatu agonis maka akan mengakibatkan penghambatan pelepasan nor-epinefrin pada ujung syaraf. Obat golongan ini jarang digunakan pada klinik. Contoh obatnya yaitu Yohimbin yang digunakan untuk terapi gangguan ereksi.

- Non selective α Blocker
    Obat ini bekerja secara tidak spesifik pada reseptor α yaitu dapat berinteraksi baik pada reseptor α1 maupun pada reseptor α2. Contoh obatnya yaitu Fentolamin.

- β1 Blocker
     Obat golongan ini mengakibatkan penurunan frekuensi dan denyut jantung, karena reseptor ini berada dalam otot jantung. Contoh obatnya yaitu asebutolol, betaksolol, metoprolol, dll.

- β2 Blocker
      Obat ini setelah bereaksi dengan menghambat aktivitas reseptor tersebut oleh suatu agonis. Obat ini mempunyai efek yaitu kontriksi saluran pernafasan. Contoh obatnya yaitu propanolol, tetapi reseptor ini bekerja secara tidak selektif, yaitu dapat mengeblok pada kedua reseptor.
        Sebenarnya masih banyak lagi obat yang bekerja sebagai antagonis adrenergik ini, yaitu seperti obat yang menghambat sintesis nor-epinefrin, obat yang menghambat penyimpanan nor-epinefrin, dan obat yang menghambat pelepasan nor-epinefrin. Tapi....yasudahlah..itu aja cukup ^^



Referensi :
- Nugroho. Agung Endro, 2012, Farmakologi : Obat-obat penting dalam pembelajaran ilmu farmasi dan dunia kesehatan, Pustaka Pelajar : Yogyakarta

Rabu, 06 Juni 2012

Obat-Obat pada Syaraf Otonom : Syaraf Kolinergik

,


    Pada posting bagian anatomi dan fisiologi sistem syaraf otonom telah disinggung bahwa sistem syaraf otonom dibagi menjadi 2 yaitu 1) sistem syaraf simpatik dan 2) sistem syaraf parasimpatik. Pada syaraf simpatik mempunyai sel syaraf preganglion lebih pendek daripada sel syaraf postganglionnya. Selain itu pada sistem syaraf simpatik ini neurotransmitter yang dilepaskan adalah nor-epinefrin atau nor-adrenalin yang akan bereaksi dengan reseptor adrenergik, maka sistem syaraf sipatik ini disebut juga dengan sistem syaraf adrenergik. Pada sistem syaraf parasimpatik memiliki sel syaraf preganglion lebih panjang daripada sel syaraf postganglionnya. Pada sistem syaraf ini neurotransmitter yang dilepaskan oleh ujung sel syaraf adalah asetilkolin yang akan bereaksi dengan reseptor asetilkolin muskarinik ataupun pada reseptor asetilkolin nikotinik. Reseptor nikotinik terdapat pada semua ganglia syaraf otonom (celah antara sel syaraf preganglion dan postganglion), pada neuromuscular junction (celah antara sel syaraf somatik dan sel otot skeletal), dan pada sel kromafin medula adrenal. Sedangkan reseptor muskarinik terdapat pada sel organ efektor syaraf kolinergik, misalnya sel parietal lambung, jantung, saluran pencernaan, dll.
     Penggolongan obat-obatan syaraf otonom ini dibedakan berdasarkan berdasarkan apakah suatu obat tersebut “memacu” atau bahkan “menghambat” syaraf tersebut. Obat yang memacu disebut dengan “Agonis”, sedangkan yang menghambat dinamakan “Antagonis”. Istilah-istilah ini dapat diulas lebih pada pembahasan obat-obatan nanti. ???
    Berdasarkan hal diatas tadi maka obat-obatan sistem syaraf otonom dibedakan menjadi beberapa bagian berikut:
1. Agonis Kolinergik,
2. Antagonis Kolinergik,
3. Agonis Adrenergik, dan
4. Antagonis Adrenergik
        Dalam tulisan ini hanya dibahas tentang syaraf Kolinergik, yaitu Agonis Kolinergik dan Antagonis Kolinergik. Dan untuk Syaraf Adrenergik Insyaallah dalam tulisan yang lain... ^^


Agonis Kolinergik
     Istilah agonis kolinergik berarti obat-obat tersebut dapat berikatan dengan reseptor dan dapat menimbulkan efek. Obat-obatan disini berarti aksinya menyerupai neurotransmitter utama yaitu asetilkolin. Istilah agonis kolinegik ini juga dapat disebut dengan kolinomimetik atau parasimpatomimetik. Target aksi obat-obatan ini ada 2 yaitu 1) Agonis Kolinergik langsung  dan 2) Inhibitor Kolinesterase.


1) Agonis Kolinergik langsung
       Obat ini bereaksi secara langsung dengan reseptor asetilkolin. Telah disebut sebelumnya bahwa reseptor asetilkolin ada 2 yaitu asetilkolin nikotinik dan asetilkolin muskarinik. Oleh sebab itu obat-obatan pada agonis kolinergik langsung ini bereaksi pada 2 tempat yaitu sebagai 1) Agonis Muskarinik dan 2) Agonis Nikotinik.

1.1) Agonis Muskarinik
     Obat golongan ini dibedakan menjadi 2 yaitu obat golongan ester dan alkaloid (menyerupai basa).
    >>Obat golongan ester
           Pada obat golongan ester ini merupakan senyawa ester dari neurotransmitter asetilkolin, oleh karena itu obat golongan ini strukturnya mirip dengan asetilkolin. Oleh karena itu obat golongan ini juga dapat dimetabolisme oleh enzim asetilkolinesterase. Contoh obat golongan ester ini adalah Metakolin, betanekol, dan Karbakol. Metakolin dan Betanekol mempunyai spesifitas hanya pada reseptor muskarinik. Jika karbakol mempunyai spesifitas pada kedua reseptor (muskarinik dan nikotinik).
    >> Obat golongan alkaloid
            Pada obat golongan ini strukturnya tidak mirip dengan asetilkolin, maka obat golongan ini tidak dapat dimetabolisme oleh enzim asetilkolinesterase. Contoh obat golongan ini adalah Pilokarpin. Obat ini hanya mempunyai spesifitas pada reseptor asetilkolin muskarinik.
       Pada dasarnya obat-obat agonis kolinergik ini didasarkan pada tipe reseptornya. Yaitu :
# Reseptor M1 : Bekerja pada sistem syaraf pusat, sistem syaraf perifer, dan sel parietal lambung.
# Reseptor M2 : Bekerja pada organ jantung.
# Reseptor M3 : Berefek eksitatori, otot polos sistem pencernaan, mata, pembuluh darah, dan kalenjar eksokrin
      Berdasarkan tersebut maka efek samping obat-obatan yang bekerja pada agonis kolinergik ini mengikuti pada resetornya, contonya pada reseptor tipe M3 maka efek samping yang ditimbulkan bisa saja peningkatan kontraksi saluran pencernaan.

1.2) Agonis Nikotinik
      Sesuai dengan namanya maka obat ini bekerja pada reseptor asetilkolin nikotinik. Obat ini dapat mempengaruhi pada siste syaraf somatik atau neuromuscular junction. Contoh senyawanya adalah nikotin, lobelin, epibatidin, dll. Nikotin dal lobelin didapatkan dari isolasi dari tanaman tembakau dan senyawa ini dapat digunakan untuk orang yang kecanduan merokok.


2) Inhibitor Kolinesterase
       pada bagian sistem syaraf otonom terdapat suatu enzim yang sangat penting yaitu Asetilkolin asetil hidrolase (AchE) atau biasa disebut dengan asetilkolinesterase. Enzim ini ditemukan pada celah syaraf kolinergik, neuromuscular junction, dan darah. Enzim ini sangat penting karena berfungsi untuk memecah asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Obat dalam hal ini bereaksi dengan menghambat enzim kolinesterase pada celah sinaptik. Sedangkan obat-obatannya beraksi dengan 2 tipe, yaitu sebagai Inhibitor reversibel dan sebagai Inhibitor Ireversibel.

2.1) Inhibitor Reversibel
       Obat ini dapat berinteraksi secara kompetitif dengan sisi aktif enzim AChE dan dapat terbalikkan / reversibel. Obat pada golongan ini bersifat larut air. Contoh obat-obatan yang bersifat inhibitor reversibel ini adalah Edroponium. Obat ini bereaksi dengan cepat yang diberikan secara intravena untuk diagnosa penyakit Myastenia gravis. Pada penderita Myastenia gravis jika diberikan Edroponium maka akan meningkatkan kekuatan otot skeletal.

2.2) Inhibitor Irreversibel
      Obat ini berinteraksi dengan sisi sktif enzim AchE dan bersifat tak terbalikkan dan biasanya senyawa golongan ini bersifat larut dalam lipid sehingga dapat menembus barrier darah otak. Obat ini bereaksi dengan memfosforilasi enzim AchE sehingga mengakibatkan inaktivasi enzim tersebut. Senyawa yang bersifat sebagai Inhibitor Irreversibel ini contohnya yaitu Malation, golongan insektisida dan golongan pestisida (organophosphat). Jika suatu inhibitor irreversibel ini bereaksi terhadap enzim asetilkolinesterase maka enzim ini tidak aktif sehingga tidak dapat memecah asetilkolin menjadi asetat dan kolin dan mengakibatkan penumpukan. Obat yang dapat digunakan adalah Pralidoksim. Obat ini bereaksi dengan menarik kuat Inhibitor Irreversibel dari sisi aktif enzim agar enzim tersebut aktif kembali. Tetapi penggunakaan pralidoksim pada pasien keracunan organophosphat harus dilakukan pada waktu yang cepat, karena dalam waktu beberapa jam setelah keracunan organofospat, enzim terfosforilasi atau kehilangan gugus alkil atau alkoksi sehingga menyebabkan atbil dan lebih resisten terhadap pralidoksim.


Antagonis Kolinergik
       Aktifitas obat antagonis berarti melawan, yaitu melawan dari aksi neurotransmitter : asetilkolin. Secara definitif berarti obat yang menghambat atau mengurangi aktifitas dari asetilkolin atau persyarafan kolinergik. Istilah lain dari antagonis kolinergik ini yaitu Kolinolitik. Obat golongan ini aksinya yaitu mengeblok kanal ion, sebagai inhibitor kompetitif pada reseptor muskarinik, dan sebagai inhibittor pada reseptor nikotinik dan muskarinik. Disini akan lebih dijelaskan pada obat-obatan yang bereaksi sebagai antagonis pada reseptor muskarinik.
     Obat yang bereaksi sebagai antagonis muskarinik mempunyai aktivitas dalam menghambat secara kompetitif pada reseptor asetilkolin muskarinik. Secara struktural, obat-obat ini bersifat seperti asetilkolin, yaitu mempunyai struktur seperti asetilkolin tetapi bagian gugus asetil pada asetilkolin diganti dengan gugus aromatik. Obat ini pada dasarnya yaitu berikatan dengan reseptor tetapi tidak menimbulkan efek, jadi mempunyai harga α=0 meskipun mempunyai afinitas terhadap reseptor.
    Contoh senyawa alami yang bereaksi dengan hal ini adalah Atropin dan Hyosin. Atropin bersifat larut dalam lipid  sehingga mudah untuk diabsorpsi dan dapat menembut barrier darah otak. Atropin ini dapat digunakan pada kasus keracunan organophospat. Yaitu berinteraksi dengan mengeblok kelebihan asetilkolin pada reseptor muskarinik, tetapi tidak pada reseptor nikotinik. Selain itu atropin dapat digunakan untuk penderita asma yaitu dengan relaksasi bronkus. Hyosin atau dinamakan juga dengan Scopolamin dapat digunakan pada pengobatan Motion Sickness.



Referensi :
- Nugroho. Agung Endro, 2012, Farmakologi : Obat-obat penting dalam pembelajaran ilmu farmasi dan dunia kesehatan, Pustaka Pelajar : Yogyakarta

Sabtu, 02 Juni 2012

Interaksi Obat dengan Reseptor

,
     Untuk menghasilkan suatu efek dari obat, maka obat tersebut dalam sirkulasi sistemik harus menjadi obat bebas atau tidak terikat dengan protein plasma. Obat yang terikat dengan protein plasma misalnya Albumin maka molekul obat tersebut tidak dapat berefek karena tidak dapat menembus jaringan dikarenakan ukurannya yang terlalu besar, berbeda halnya jika obat dalam sirkulasi sistemik merupakan suatu obat bebas.
     Beberapa obat dapat menghasilkan efek setelah berikatan dengan komponen organisme yang spesifik. komponen organisme yang spesifik tersebut merupakan suatu protein yang terikat dalam membran sel. Komponen spesifik tersebut adalah Reseptor. Reseptor adalah suatu makromolekul yang berupa lipoprotein, lipid, protein atau asam nukleat yang merupakan target aksi suatu obat untuk dapat menghasilkan efek. Sebagai contoh Neurotransmitter asetilkolin, asetilkolin merupakan suatu substansi transmitter yang dilepaskan dari ujung syaraf otonom dan dapat mengaktivasi sel otot polos skeletal, yaitu menghasilkan kontraksi otot polos.
     Interaksi suatu obat dengan sisi aktif reseptor tergantung pada kesesuaian dari dua molekul tersebut, jadi bisa disimpulkan bahwa suatu obat hanya mau berinteraksi terhadap suatu reseptor atau tidak sembarang reseptor, hal ini merupakan ssalah satu sifat dari reseptor yaitu "spesifitas". Namun meskipun demikian sebenarnya  tidak ada spesifik yang sesungguhnya tetapi beberapa mempunyai aksi selektif yang relatif pada satu tipe dari reseptor. Molekul yang paling sesuai berinteraksi dengan sisi aktif reseptor dan mempunyai ikatan terkuat dikatakan mempunyai "afinitas" terbesar terhadap reseptornya. Afinitas merupakan kemampuan suatu senyawa atau obat untuk berinteraksi dengan satu tipe tertentu dari reseptor. Selain afinitas, syarat obat untuk menghasilkan efek ada "aktivitas Intrinsik dan Efikasi/ Efikasi Instrinsik".
 
     1). Aktivitas Intrinsik merupakan kemampuan suatu obat untuk menghasilkan respon fisiologi. Aktivitas Intrinsik dinotasikan sebagai α yang merupakan besaran efek per unit kompleks obat-reseptor. Terdapat suatu senyawa yang menghasilkan efek Agonis, Antagonis, dan Agonis parsial. Untuk efek-efek tersebut akan dijelaskan nantii... ^^. Agonis mempunyai harga α = 1, Antagonis mempunyai harga α = 0, sedangkan untuk Agonis parsial mempunyai harga 1< α < 0. Untuk Agonis parsial mempunyai harga tersebut karena terdapat suatu senyawa atau obat yang memiliki aksi Agonis maupun Antagonis, Jadi aktivitas berdasarkan agonis parsial tidak akan menghasilkan efek maksimum.

     2). Efikasi/ Efikasi Intrinsik merupakan kemampuan obat untuk menghasilkan stimulus yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu efek. Dilihat sepintas dari Aktivitas Intrinsik dengan Efikasi Intrinsik merupakan hal yang sama tetapi ini merupakan suatu hal yang berbeda. Pada Aktivitas Intrinsik cenderung pada kemampuan kompleks obat-reseptor untuk menghasilkan suatu respon atau efek, Sedangkan Efikasi Intrinsik cenderung pada kemampuan komples obat-reseptor yang hanya menghasilkan suatu stimulus yang akan menghasilkan suatu respon atau efek.

     Reseptor selain berfungsi sebagai target aksi suatu obat, tetapi juga dapat berfungsi untuk :
1). Merangsang perubahan permeabilitas membran sel
2). Pembentukan pembawa pesan kedua (second mesenger) contohnya cAMP, diasilgliserol, dan Inositol trifosfat.
3). Mempengaruhi transkripsi Gen.
     Dalam interaksi obat dengan reseptor umumna terdapat 2 tipe yaitu Agonis dan Antagonis.


1). Agonis
             Agonis merupakan Interaksi obat dengan reseptor yang dapat berinteraksi dan menghasilkan suatu stimulus yang kemudian menghasilkan respon fisiologi. Agonis mempunyai harga α = 1 karena mampu berikatan dengan reseptor dan menghasilkan efek secara maksimum. Dalam menghasilkan respon fisiologi berlangsung melalui 2 cara :
a. Agonisme langsung,,
    Dalam agonisme langsung intinya dalam menghasilkan efek atau respon fisiologi, obat berikatan dengan reseptor yang kemudian mengakibatkan perubahan kondisi yang kemudian menghasilkan perubahan di dalam sel yang kemudian menghasilkan respon fisiologi.
b. Agonisme Tidak langsung,,
     Dalam agonisme tidak langsung ini diperantarai oleh senyawa Endogen tertentu. Senyawa endogen merupakan suatu senyawa yang berasal dari dalam tubuh dan mempunyai fungsi normal tertentu dalam tubuh, sebagai contoh Neurotransmitter.

2). Antagonis
           Antagonis merupakan suatu kejadian yang mengakibatkan pengurangan atau penghapusan suatu respon fisiologi tertentu. Senyawa antagonis juga dapat berinteraksi dengan reseptor tetapi tidak dapat menghasilkan efek, maka senyawa antagonis mempunyai afinitas tetapi mempunyai harga α = 0 karena tidak menghasilkan efek.


Kata-kata terkait : AgonisAntagonisReseptorNeurotransmitter

 

Just an Ideas and Creativity Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger Templates