Kamis, 31 Mei 2012

Farmakokinetik : Ekskresi

,
       Dalam proses farmakokinetik obat setelah obat mengalami fase absorpsi, distribusi, dan biotransformasi, obat akhirnya mengalami fase ekskresi. Ekskresi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik menuju ke organ ekskresi. Obat mengalami ekskresi bertujuan untuk mendetoksifikasi obat, karena telah diketahui bahwa obat dianggap racun/ zat asing oleh tubuh. Organ ekskresi juga bermacam-macam contohnya yang paling umum adalah ginjal, kemudian paru-paru, saliva, keringat, air susu, empedu, dll.
      Pada jalur ekskresi melalui ginjal, metabolit-metabolit obat diekskresikan melalui urine melalui mekanisme filtrasi glomerulus, sekresi tubular aktif, dan reabsorpsi tubular. Ginjal merupakan organ utama dalam proses ekskresi. Organ ini mengekskresikan senyawa dari sirkulasi sistemik atau dari darah guna mempertahankan miliu internal. Dalam ginjal terdapat unit fungsional terkecil yang disebut dengan Nefron. Nefron terdiri atas pembuluh proksimal, lengkung Henle, dan pembuluh distal, sedangkan bagian kapiler terdiri dari glomerulus yang terdapat dalam kapsula Bowmann.

                                   

                                      (Picture obtained from whatteenagersneed.blogspot.com)

Proses ekskresi melalui ginjal terdapat 3 tahapan yaitu :
1. Filtrasi Glomerulus
2. Sekresi / reabsorpsi tubulus aktif
3. Difusi aktif

      Dalam proses ekskresi terdapat parameter Kliren (Clearance). Kliren adalah Parameter eliminasi obat yang meliputi metabolisme/ biotransformasi dan ekskresi untuk dikeluarkan dari tubuh melalui organ ekskresi.



Referensi : Nugroho, Agung Endro. 2012. Prinsip Aksi & Nasib Obat Dalam Tubuh. Pustaka Pelajar : Yogyakarta


Kata-kata terkait : EkskresiNefronGinjalTubulus RenalisTubulus Kolektivus

Sabtu, 26 Mei 2012

Farmakokinetik : Metabolisme/ Biotransformasi

,

    
     Metabolisme adalah proses-proses kimia yang terjadi pada organisme, termasuk pada tingkat seluler. Metabolisme juga dengan reaksi enzimatis, maksudnya adalah metabolisme terjadi selalu dengan katalisator enzim. Metabolisme mempunyai 3 tujuan utama yaitu :

1. Menyediakan energi bagi tubuh dan pemeliharaan
2. Dapat berfungsi sebagai Katabolisme maupun Anabolisme, Katabolisme adalah proses penguraian dan pembebasan energi dari senyawa-senyawa organik melalui proses respirasi. Sedangkan anabolisme adalah proses-proses penyusunan energi kimia melalui sintesis senyawa-senyawa organik.
3. Mengubah senyawa asing/ obat menjadi lebih polar sehingga mudah untuk diekskresikan.

     Metabolisme disebut juga dengan biotransformasi meskipun banyak ahli menyatakannya berbeda. Sebagian ahli menyatakan metabolisme itu hanya dinayatakan sebagai perubahan-perubahan baik biokimia maupun kimia yang dilakukan tubuh terhadap senyawa endogen, sedangakn biotransformasi hanya ditujukan untuk senyawa-senyawa eksogen/ xenobotika.
Proses metabolisme sebagian besar terdapat pada organ hati khususnya pada sub seluler retikulum endoplasma. Dan hasil dari proses metabolisme ini disebut dengan metabolit.

    Telah disebut sebelumnya bahwa metabolisme terjadi dengan bantuan enzim, enzim-enzim metabolisme ini terdapat pada fraksi mikrosomal biasanya enzim sitokrom P-450. Obat setelah diabsorpsi akan masuk ke sirkulasi sistemik yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh, setelah itu akan dimetabolisme sehingga bioavailabilitasnya menurun, proses ini dinamakan first past effect/ first past metabolism. Metabolisme umumnya merubah zat asing yang dari yang non polar menjadi polar, sehingga mudah untuk diekskresikan dengan urin melalui organ ekskresi. Untuk mengubah senyawa menjadi polar ini dibutuhkan reaksi-reaksi dalam metabolisme. Reaksi metabolisme obat atau biotransormasi obat ini dibedakan menjadi 2 yaitu :

1. Metabolisme Fase I
Pada metabolisme fase I ini merupakan reaksi non sintetik, umumnya pada reaksi ini obat dirubah gugus fungsionalnya agar dapat bereaksi dengan enzim-enzim pada metabolisme Fase II. Reaksi fase I ini meliputi oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi, dan isomerasi. Sedangkan enzim yang berperan meliputi Sitokrom P-450 (CYPs), Flavin containing monooksigenase (FMOs), Alkohol & Aldehid dehidrogenase, amine oksidase, Cyclooksigenase, Reduktase, dan Hidrolase.

2. Metabolisme Fase II
Reaksi metabolisme fase II disebut juga dengan fase sintetik atau konjugasi. Metabolisme fase II ini merupakan jalur detoksifikasi, karena hasil metabolisme atau metabolit umumnya akan dirubah menjadi non aktif meski ada suatu senyawa dimetabolisme menjadi lebih toksik. Selain itu pada reaksi fase II ini senyawa akan dikonjugasikan dengan konjugat sehingga senyawa tersebut akan menjadi polar atau larut air sehingga mudah untuk diekskreasikan. Konjugat pada hal ini contohnya seperti sulfat, glukoronat, dan merkapturat. Gugus yang sering terlibat pada reaksi ini adalah sulfat, metil, asetil, glisil, dan glukoronil. Sedangkan enzim yang berperan meliputi Glukoronidase, Sulfotransferase, Metiltransferase, Glutation transferase, dan Asetil transferase.

Metabolisme juga dapat dipengaruhi oleh berbagai hal contonya seperti :
1. Intrinsik obat
2. Fisiologi organisme
3. Faktor farmakologi
4. Kondisi patologi
5. Susunan makanan
6. Lingkungan




Referensi : Nugroho, Agung Endro. 2012. Prinsip Aksi & Nasib Obat Dalam Tubuh. Pustaka Pelajar : Yogyakarta


Kata-kata terkait : Sitokrom P450BiotransformasiKatalisasiEnzim BiotransformasiEnzimMetabolisme

Farmakokinetik : Distribusi

,

      Dalam mempelajari Nasib obat dalam tubuh terdapat 3 fase yang meliputi fase biofarmasetik, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik.

       Secara singkat fase biofarmasetik adalah fase dimana semua hal yang terkait dengan pengaruh-pengaruh pembuatan sediaan terhadap kegiatan terapeutik obat. Fase ini meliputi waktu awal penggunaan obat melalui mulut hingga pelepasan zat aktifnya menuju ke cairan tubuh.

      Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai pengaruh tubuh terhadap obat yang meliputi proses ADME yaitu Absorpsi, Distribusi, Metabolisme/ Biotransformasi, dan Ekskresi.

     Sedangkan Farmakodinamik dapat didefinisikan sebagai pengaruh obat terhadap tubuh. Yang dimaksud dengan pengaruh disini adalah bagaimana obat tersebut dapat mempengaruhi aspek fisiologis ataupun biokimia dalam tubuh.

     Dalam tulisan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai Distribusi obat dalam tubuh. Distribusi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik menuju ke suatu tempat dalam tubuh baik itu cairan maupun jaringan-jaringan tubuh. Tempat distribusi adalah cairan pada berbagai jaringan yaitu protein plasma, hati, ginjal, tulang, lemak, barrier darah otak, barrier plasenta. Sedangkan mekanisme transpor dari molekul obat tersebut apat melalui difusi pasif, transpor konvektif, maupun pinositosis.

     Telah diketahui sebelumnya bahwa molekul obat setelah diabsorpsi dari tempat aplikasinya akan menuju ke sirkulasi sistemik, dalam sirkulasi sistemik ini molekul obat akan berikatan dengan protein pembawa (α-Glikoprotein dan Albumin). Selain molekul obat yang berikatan dengan protein plasma ini juga terdapat molekul obat bebas ; yaitu molekul obat yang tidak berikatan dengan protein pembawa. Obat dalam bentuk bebas ini dapat langsung menuju ke reseptor dalam jaringan, sedangkan molekul obat yang berikatan dengan protein pembawa akan sulit untuk berikatan dengan reseptor dalam jaringan. Hal ini diakibatkan karena molekul obat yang berikatan dengan protein pembawa memiliki ukuran yang lebih besar daripada obat bebas.


Kata-kata terkait : Biokimia

Selasa, 22 Mei 2012

Farmakokinetik : Absorpsi

,

           Dalam proses farmakokinetika yang pertama dialami obat adalah proses absorpsi. Absorpsi merupakan perpindahan obat atau molekul obat dari tempat aplikasinya untuk menuju ke sirkulasi sistemik. Agar obat dapat diabsorpsi, zat bahan aktif obat harus dilepas dari bentuk sediaannya, dalam hal ini faktor disolusi obat merupakan hal yang penting. Contohnya pada sediaan tablet, kaplet, dll. Pada Tablet dan Kaplet, obat pertama akan pecah menjadi granul-granul kemudian zat aktifnya lepas. Selain itu pelepasan obat dari bentuk sediaannya juga dipengaruhi oleh faktor fisika kimia dari obat itu sendiri.
                Proses absorpsi obat dapat terjadi pada berbagai tempat dalam tubuh, contohnya seperti bagian bukal (pipi bagian dalam), sublingual (bawah lidah), gastrointestinal (lambung dan usus), kulit (kutan), muskular (otot),peritoneal (rongga perut), okular (mata), nasal (hidung), paru-paru, dan rektal. Mekanisme absorpsi bisa secara difusi pasif, transpor aktif, transpor konvektif, difusi terfasilitasi, transpor pasangan ion, dan pinositosis.

                Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat meliputi :

1. Kecepatan disolusi obat
          Seperti yang telah tertulis sebelumnya, dalam pelepasan zat aktif dari suatu obat dibutuhkan parameter Disolusi obat. Kecepatan disolusi obat ini berbanding lurus oleh luas permukaan, jadi setelah obat utuh pecah menjadi granul-granul dalam saluran pencernaan/ organ pencernaan, maka luas permukaannya juga akan semakin besar maka disolusi obat juga semakin besar.

2. Ukuran partikel
          Faktor Ukuran partikel ini sangat penting, karena semakin kecil ukuran partikel obat, maka obat tersebut juga semakin mudah larut dalam cairan daripada obat dengan ukuran partikel yang besar.

3. Kelarutan dalam lipid atau air
        Dalam faktor ini dipengaruhi oleh koefisien partisi obat. Koefisien partisi merupakan perbandingan obat dalam fase air (polar) dan fase minyak (non polar). Telah diketahui bahwa medium pelarutan obat merupakan zat polar, sedangkan tempat absorbsi contohnya dinding usus sebagian besar adalah non polar. Jadi koefisien partisi ini sangat penting dalam menentukan absorbsi obat. Semakin besar koefisien partisi, maka semakin besar pula kekuatan partikel obat tersebut untuk menembus membran/ dinding usus. Sebaliknya obat yang memiliki koefisien partisi yang kecil, berarti obat tersebut lebih mudah larut dalam zat polar, telah diketahui sebelumnya bahwa tempat untuk absorpsi obat sebagian besar adalah non polar, maka obat-obatan yang seperti ini sulit untuk diabsorpsi.

4. Ionisasi
         Sebagian obat merupakan elektrolit lemah sehingga ionisasinya dipengaruhi oleh pH medium. Dalam hal ini terdapat dua bentuk obat, yaitu obat yang terion dan obat yang tek terion. Obat yang terion lebih mudah larut dalam air, sedangkan obat dalam bentuk tak terion lebih mudah larut dalam lipid serta lebih mudah untuk diabsorpsi. Hal ini bisa diterapkan contohnya pada obat yang bersifat asam, obat yang bersifat asam tersebut akan terionisasi pada pH basa dan kita ketahui bahwa pada lambung pHnya asam dan pada usus pHnya basa. Obat-obatan yang bersifat asam ini akan terionisasi pada usus (basa), maka obat yang telah terionisasi ini akan sulit menembus dinding usus yang sebagian besar komponennya adalah lipid/ zat non polar, maka obat-obatan asam ini lebih mudah diabsorpsi pada gaster/ lambung karena pada lambung pH-nya asam, maka obat tidak akan terionisasi. Untuk obat-obatan yang bersifat basa dianalogikan sebaliknya, secara singkat obat-obatan basa akan terionisasi pada lambung (asam) dan tak terionisasi pada usus (basa), maka akan lebih mudah diabsorpsi oleh dinding usus.

5. Aliran darah pada tempat absorpsi
      Aliran darah akan membantu pada proses absorpsi obat yaitu mengambil obat menuju ke sirkulasi sistemik. Semakin besar aliran darah maka semakin besar pula obat untuk diabsorpsi.

6. Kecepatan pengosongan lambung
        Obat yang diabsorpsi di usus akan meningkat proses absorpsinya jika kecepatan pengosongan lambung besar dan sebaliknya.

7. Motilitas usus
     Motilitas dapat diartikan pergerakan, dalam hal ini merupakan pergerakan usus. Jika kecepatan motilitas usus ini besar maka akan mengurangi absorpsi obat karena kontak antara obat dengan absorpsinya adalah pendek. Motilitas usus ini besar contohnya adalah pada saat diare.

8. Pengaruh makanan atau obat lainnya
      Beberapa makanan atau obat dapat mempengaruhi absorpsi obat lainnya.

9. Cara pemberian
       Pada cara pemberian ini dibedakan menjadi dua, yaitu obat yang diberikan secara enteral dan secara parental. Pada pemberian enteral ini contohnya seperti pemberian secara oral, sublingual, dan secara perrektal. Sedangkan pada pemberian parental contohnya seperti injeksi dan inhalasi. Pada pemberian secara parental pastinya memberikan efek lebih cepat daripada pemberian secara enteral.



Referensi : Nugroho, Agung Endro. 2012. Prinsip Aksi & Nasib Obat Dalam Tubuh. Pustaka Pelajar : Yogyakarta

Senin, 21 Mei 2012

Anatomi dan Fisiologi Sistem Syaraf

,

      Syaraf adalah serat-serat yang menghubungkan organ-organ tubuh dengan sistem syaraf pusat dan antar bagian sistem syaraf lainnya. Syaraf membawa impuls-impuls atau rangsangan dari dan ke otak atau pusat syaraf. Bagian terkecil dari sistem syaraf adalah neuron. Neuron adalah sel syaraf yang terdiri dari nukleus, sitoplasma, dendrit, dan akson. Akson merupakan tonjolan seperti batang yang keluar dari badan sel yang berfungsi untuk menghantarkan impuls-impuls atau rangsangan menuju ke sel organ efektor. Sedangkan dendrit merupakan serabut pemanjangan dari sitoplasma yang berasal dari badan sel / soma. Pada saat pembentukan batang syaraf, serabut-serabut syaraf disusun menjadi berkas-berkas yang disebut fasikuli. Sebuah serabut syaraf mempunyai kemampuan konduktivitas (penghantar) dan eksitabilitas (dapat dirangsang). Serabut syaraf ini berkemampuan memberikan reaksi atas rangsangan dari sumber luar, contohnya seperti rangsangan mekanik, elektrik, kimiawi, atau fisik.


                              
                                          (Picture obtained from enchantedlerning.com)


   Sistem syaraf dibedakan menjadi 2 yang meliputi sistem syaraf pusat dan sistem syaraf perifer.

1. Sistem syaraf pusat
         Sistem syaraf pusat disebut juga dengan medula spinalis dan terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Sistem syaraf pusat ini mengontrol berbagai syaraf yang ada dalam tubuh jadi memiliki peran yang sangat sentral.

2.  Sistem syaraf perifer
        Sistem syaraf perifer merupakan syaraf penghantar dari sistem syaraf pusat menuju ke sel organ efektor contohnya sel jantung, paru-paru, dll. Jadi sistem syaraf ini sangat bergantung dari sistem syaraf pusat. Sistem syaraf perifer ini juga dibagi menjadi 2 yaitu sistem syaraf somatik dan sistem syaraf otonom.

A. Sistem syaraf somatik
        Sistem syaraf somatik merupakan bagian dari sistem syaraf perifer yang merupakan sistem motorik karena berhubungan dengan sel otot/ skeletal. Karena sistem syaraf ini sebagai sistem motorik maka sistem syaraf ini berfungsi untuk menggerakkan berbagai gerakan tubuh, contohnya seperti gerakan tangan, kaki, dll. Oleh karena itu sistem syaraf somatik ini merupakan gerakan yang disadari/ terjadi atas kesadaran.

B. Sistem syaraf otonom
     Sistem syaraf otonom merupakan bagian dari sistem syaraf perifer yang memperantarai persyarafan menuju sel organ efektor, misalnya sel jantung. Sistem syaraf ini merupakan persyarafan yang aktivitasnya tanpa disadari, contohnya dalam organ jantung ; kita tidak bisa menghentikan maupun meningkatkan kecepatan dari gerakan memompa dari jantung ini. Sistem syaraf otonom ini terdistribusi secara meluas di dalam tubuh dan berfungsi untuk mengatur aktivitas organ-organ tubuh serta bertanggung jawab atas homeostatis tubuh. Dalam sistem syaraf otonom terdapat 2 bagian yang digunakan untuk menghantarkan impuls atau rangsangan, yaitu sel syaraf preganglion dan sel syaraf postganglion. Sedangkan celah yang merupakan pertemuan antara sel syaraf satu dengan sel syaraf yang lainnya disebut dengan ganglia, disini sel syaraf yang dimaksud adalah sel syaraf preganglion dan sel syaraf postganglion. Berdasarkan karakteristik dan fungsinya, sistem syaraf otonom dibagi menjadi 2, yaitu sistem syaraf simpatik dan sistem syaraf parasimpatik, berikut akan dijelaskan mengenai kedua sistem syaraf ini :

I. Sistem syaraf simpatik
     Sistem syaraf simpatik disebut juga dengan sistem thoracolumbar karena sel syaraf preganglionnya berasal dari bagian thorax dan lumbar. Pada sistem syaraf simpatik ini syaraf preganglionnya lebih pendek daripada syaraf postganglion. Sistem ini juga bersifat katabolik, artinya dapat menghasilkan energi.

II. Sistem syaraf parasimpatik
      Sistem syaraf parasimpatik disebut juga sistem craniosakral karena syaraf preganglionnya berhubungan dengan batang otak dan sumsum tulang belakang bagian sakral. Sistem syaraf ini bersifat anabolik, artinya apat menyimpan energi untuk pemeliharaan fungsi organ. Pada sistem syaraf ini berbeda dengan sistem syaraf simpatik, pada sistem syaraf ini syaraf preganglionnya lebih panjang daripada syaraf postganglionnya.

   Pada sistem syaraf ini dikenal juga nama Neurotransmitter. Neurotransmitter merupakan suatu zat kimia yang dilepaskan oleh ujung sel syaraf yang berfungsi untuk menghantarkan impuls atau rangsangan menuju ke sel organ efektor. Neurotransmitter pada sistem syaraf simpatik adalah nor-epinefrin atau nor-adrenalin dan resptornya adalah adrenergik. Sedangkan pada sistem syaraf parasimpatik neurotransmitternya adalah asetilkolin dan reseptornya adalah asetilkolin nikotinik dan asetilkolin muskarinik.


Referensi : Nugroho, Agung Endro. 2012. Farmakologi : Obat-obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan. Pustaka Pelajar : Yogyakarta




Kata-kata terkait : NeuronMedula SpinalisBadan selSel GliaSel SyarafNorepinefrinSinapsDendritAksonSistem SyarafNeurotransmitter

Model Kompartemen

,

1. Model Mammillary
Model terdiri atas satu atau lebih kompartemen perifer yang dihubungkan ke suatu kompartemen sentral. Kompartemen sentral mewakili plasma dan jaringan-jaringan yang perfusinya tinggi dan secara cepat berkesetimbangan dengan obat. Model mamillary dapat dianggap sebagai suatu sistem yang berhubungan secara erat, karena jumlah obat dalam setiap kompartemen dalam setiap sistem tersebut dapat diperkirakan setelah obat dimasukkan ke dalam suatu kompartemen tertentu. Menurut Mammillary model kompartemen dibagi menjadi :
a)            Kompartemen satu terbuka iv
Perfusi terjadi sangat cepat seperti tanpa proses distribusi sebab distribusi tidak diamati karena terlalu cepatnya. (Hanya ada satu fase yaitu eliminasi).
b)            Kompartemen satu terbuka ev
Sebelum memasuki kompartemen sentral, obat harus mengalami absorbsi. (Terdiri dari 2 fase yaitu absorbsi dan eliminasi).
c)            Kompartemen 2 terbuka intravaskuler
Kompartemen dianggap hanya satu dan ada proses distribusi dari sentral ke perifer atau sebaliknya. Tidak ada proses absorbsi tetapi ada proses eliminasi.
d)            Kompartemen 2 terbuka ekstravaskuler
Obat mengalami proses absorpsi, distribusi dan eliminasi.

2. Model Caternary
Dalam farmakokinetika model mammilary harus dibedakan dengan macam model kompartemen yang lain yang disebut model caternary. Model caternary terdiri atas kompartemen-kompartemen yang bergabung satu dengan yang lain menjadi satu deretan kompartemen. Sebaliknya, model mammilary terdiri atas satu atau lebih kompartemen yang mengelilingi suatu kompartemen sentral.
3. Model Fisiologik (Model Aliran)
Model fisiologik juga dikenal sebagai model aliran darah atau model perfusi, merupakan model farmakokinetik yang didasarkan atas data anatomik dan fisiologik yang diketahui.  Makna yang nyata dari model fisiologik adalah dapat digunakannya  model ini dalam memprakirakan farmakokinetika pada manusia dari data hewan. Jadi, parameter-parameter fisiologik dan anatomik dapat digunakan  untuk memprakirakan efek obat pada manusia berdasar efek obat pada hewan.
(Shargel dan Yu, 1988)

Sumber : http://gaulbarengfarmasi.wordpress.com/ 

Minggu, 13 Mei 2012

Metode Analisis Asidi-alkalimetri

,
     Asidi-alkalimetri adalah suatu metode analisis berdasarkan teknik titrimetri yang digunakan untuk menetapkan kadar suatu sampel berdasarkan reaksi netralisasi yaitu dengan cara mereaksikan zat yang bersifat asam dengan basa atau sebaliknya.

     Asidimetri merupakan penetapan kadar secara kuantitatif terhadap senyawa yang bersifat basa dengan menggunakan larutan baku bersifat asam.

     Alkalimetri merupakan penetapan kadar secara kuantitatif terhadap senyawa yang bersifat asam dengan menggunakan larutan baku yang bersifat basa.

    Sebelum membahas tentang reaksi netralisasi, sebaiknya mengetahui apakah itu asam atau apa itu basa. Terkait dengan pengertian asam dan basa, terdapat 3 teori yang terkenal yaitu teori asam dan basa dari Arrhenius, Brownsted-Lowry, dan Lewis.
1. Arrhenius mendiskripsikan asam adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air akan terurai menjadi ion hidrogen (H+) dan anion, sedangkan basa adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air akan menghasilkan ion hidroksida (OHֿ) dan kation. Tetapi teori dari Arrhenius ini hanya berlaku untuk senyawa anorganik dalam pelarut air.
2. Brownsted-Lowry mendiskripsikan asam sebagai suatu spesi yang dapat memberikan proton atau biasa disebut dengan donor proton. Contoh molekul asam adalah HCl, H2SO4, HNO3, H2S, dll, asam kation adalah H3O+, NH4+, asam anion adalah HSO4-, HCO3-, H2PO4-, dll. Sedangkan basa adalah spesi yang dapat menerima proton/ akseptor proton. Contoh molekul basa antara lain NaOH, Ca(OH)2, dll, basa kation adalah Ag(NH3)2+, basa anion adalah OH-, SO4-2, CO3-2, dll.
3. Menurut Lewis asam adalah suatu spesi yang dapat menerima pasangan elektron, sedangkan basa merupakan suatu spesi yang dapat memberikan pasangan elektron. Jadi menurut Lewis suatu asam tidak harus memiliki hidrogen.
 

     Reaksi netralisasi adalah reaksi yang terjadi jika suatu asam direaksikan dengan menggunakan basa atau sebaliknya. Jika suatu asam direaksikan dengan basa, maka pH larutan yang terbentuk akan naik. Sebaliknya jika suatu larutan yang bersifat basa direaksikan dengan menggunakan larutan yang bersifat asam, maka pH larutan akan turun.

    Dalam analisis menggunakan metode Asidi-alkalimetri ini diperlukan suatu indikator. Menurut W. Ostwald, indikator adalah suatu senyawa organik kompleks dalam bentuk asam atau dalam bentuk basa yang mampu berada dalam dua macam bentuk warna yang berbeda dan dapat saling berubah warna dari bentuk satu ke bentuk yang lain ada konsentrasi H+ tertentu atau pada pH tertentu. Indikator disini berperan dalam menunjukkan titik akhir titrasi. Pemilihan indikator yang akan digunakan juga sangat penting, kisaran harga indikator adalah 1 unit pH disekitar nilai pKa nya.

Mekanisme indikator adalah sebagai berikut :

1. terbentuk hasil reaksi yang mengalami disosiasi lemah.
2. terjadi hasil reaksi sebagai gas atau sebagai endapan.
3. pemisahan ion sebagai ion kompleks.


Referensi :
=> Gandjar, I.G., dan Abdul, R., 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka pelajar, Yogyakarta
 

Just an Ideas and Creativity Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger Templates